Pada perkembangan yang menarik, sebuah hotel cinta di prefektur Saitama, Jepang, telah mengubah fungsinya menjadi rumah duka. Fenomena ini mencerminkan perubahan signifikan dalam demografi negara tersebut, termasuk penurunan tajam tingkat kelahiran dan meningkatnya populasi lansia. Transformasi ini mendapat banyak tanggapan dari warganet di media sosial, baik positif maupun negatif. Awalnya dikenal sebagai tempat privasi bagi pasangan, kini ruang-ruangnya dipenuhi dengan dekorasi putih yang khidmat, menciptakan suasana seperti surga bagi acara pemakaman.
Dalam salah satu sudut prefektur Saitama, terdapat sebuah bangunan yang dulunya dikenal sebagai hotel cinta—fasilitas yang populer sejak akhir 1960-an hingga puncak ekonomi Jepang pada dekade berikutnya. Tempat ini awalnya dirancang untuk memenuhi kebutuhan privasi pasangan, namun seiring waktu, popularitasnya mulai meredup bersamaan dengan tren demografi yang berubah. Pada Februari tahun ini, sebuah foto viral menunjukkan bahwa bekas hotel cinta ini telah direnovasi sepenuhnya menjadi rumah duka modern.
Kamar-kamar yang dulunya didesain dengan tema eksotis seperti pesawat luar angkasa atau negeri ajaib kini tampak sederhana dan tenang, dilapisi warna putih serta ornamen religius. Para pengamat menyebut transformasi ini sebagai simbolik "dari buaian hingga liang lahat." Statistik resmi menunjukkan bahwa angka kelahiran di Jepang mencapai rekor terendah sepanjang masa pada 2024, yakni hanya 720.988 bayi, sementara jumlah penduduk lanjut usia terus bertambah hingga mencapai lebih dari 36 juta jiwa.
Dengan perubahan ini, industri hotel cinta juga menghadapi tantangan serius. Data dari Badan Kepolisian Nasional Jepang menunjukkan bahwa jumlah hotel cinta yang terdaftar turun drastis dari 5.670 unit pada 2016 menjadi 5.183 pada 2020. Hal ini menunjukkan betapa signifikan dampak perubahan demografi terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat Jepang.
Situasi ini tidak hanya mencerminkan fenomena budaya, tetapi juga tantangan besar bagi pembuat kebijakan dalam menghadapi populasi yang menua secara cepat.
Beberapa warganet menanggapi transformasi ini dengan rasa humor, sementara yang lain merasa kurang nyaman dengan gagasan pemakaman di tempat yang dulunya digunakan untuk aktivitas romantis. Namun, ada juga yang melihat ini sebagai langkah adaptif yang realistis mengingat kondisi demografi saat ini.
Dari perspektif seorang jurnalis, fenomena ini memberikan pelajaran penting tentang bagaimana masyarakat harus beradaptasi dengan perubahan demografis. Di tengah tantangan populasi yang menua dan penurunan kelahiran, inovasi seperti ini menunjukkan cara baru untuk memanfaatkan ruang yang ada secara efisien. Bagi pembaca, cerita ini juga bisa menjadi pengingat akan pentingnya perencanaan kebijakan publik yang responsif terhadap kebutuhan sosial dan ekonomi yang terus berkembang.