Kebijakan tarif impor oleh Presiden AS Donald Trump memberikan dampak signifikan terhadap perdagangan global, termasuk Indonesia. Ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal mulai muncul di beberapa sektor industri domestik akibat penurunan ekspor dan perlambatan perekonomian. Dengan pengenaan tarif sebesar 32%, daya saing produk Indonesia di pasar internasional menurun drastis, memperparah kondisi ekonomi yang sudah lesu.
Situasi ini dapat memengaruhi stabilitas industri dalam negeri, terutama di tengah pelemahan daya beli konsumen dan investasi. Tanpa tindakan preventif dari pemerintah, ancaman PHK semakin nyata, khususnya di sektor-sektor yang telah mengalami deindustrialisasi dini seperti tekstil.
Kebijakan proteksionisme perdagangan Amerika Serikat berpotensi menyebabkan perlambatan perdagangan global, yang pada gilirannya dapat menekan performa ekspor Indonesia. Penurunan ekspor berdampak negatif terhadap sektor industri nasional, karena keadaan ini memperburuk situasi ekonomi yang sudah lemah dengan turunnya daya beli dan investasi. Situasi tersebut membuat banyak perusahaan menjadi rentan terhadap pemutusan hubungan kerja besar-besaran.
Keputusan Presiden AS Donald Trump untuk menerapkan tarif impor menyeluruh menciptakan efek domino yang merugikan banyak negara, termasuk Indonesia. Dalam konteks ini, Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah, menjelaskan bahwa kebijakan tersebut bisa menurunkan perdagangan global secara keseluruhan. Ketika ekspor Indonesia menurun, tekanan tambahan dirasakan oleh industri dalam negeri yang sudah menghadapi tantangan seperti pelemahan daya beli konsumen dan investasi yang melambat. Jika tidak ditangani dengan baik, kondisi ini akan semakin memperburuk situasi ekonomi nasional. Sebagai contoh, jika ekspor menurun secara signifikan, banyak perusahaan yang akan kesulitan bertahan dan akhirnya harus melakukan PHK sebagai langkah efisiensi operasional.
Deindustrialisasi dini di sektor tekstil menjadi salah satu indikator potensi PHK massal di Indonesia. Banyak perusahaan tekstil yang telah gulung tikar bahkan sebelum kebijakan tarif baru Amerika Serikat diberlakukan. Hal ini menunjukkan bahwa sektor ini sudah sangat rapuh dan mudah terkena dampak dari gejolak ekonomi global.
Salah satu kasus yang cukup mencolok adalah kebangkrutan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu produsen tekstil terbesar di ASEAN. Perusahaan ini menjadi simbol dari tantangan yang dihadapi oleh sektor manufaktur Indonesia. Menurut analisis Piter Abdullah, fenomena deindustrialisasi dini ini bukanlah hal baru, namun semakin terlihat jelas akibat tekanan ekonomi global. Dengan adanya tarif impor baru dari Amerika Serikat, beban yang harus ditanggung oleh sektor tekstil semakin berat. Ini berarti lebih banyak perusahaan yang berpotensi gulung tikar, dan ribuan pekerja bisa kehilangan pekerjaan mereka. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan segera mengambil tindakan antisipatif guna mencegah skenario buruk ini terjadi, terutama di tengah upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen.