Bank sentral dari berbagai negara, termasuk Amerika Serikat (AS), China, dan Indonesia, telah memutuskan untuk menjaga tingkat suku bunga acuan mereka di tengah ketidakpastian pasar global. Keputusan ini dipandang sebagai langkah yang penuh tantangan oleh para ekonom, seperti Aviliani, yang menyoroti bahwa penurunan suku bunga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, namun juga membawa risiko jika tidak dilakukan secara hati-hati. Di AS, kebijakan ini dipengaruhi oleh perang tarif yang meningkatkan inflasi, sementara di China dan Indonesia, tekanan nilai tukar serta perlunya pengendalian inflasi menjadi faktor utama.
Dalam konteks ini, arah dan dampak dari kebijakan suku bunga saat ini menjadi fokus pembahasan. Para ahli melihat bahwa setiap negara memiliki pertimbangan tersendiri dalam mengambil keputusan terkait tingkat suku bunga, yang pada akhirnya berdampak langsung terhadap stabilitas ekonomi nasional maupun global.
Di AS, keputusan untuk mempertahankan Fed Funds Rate didorong oleh berbagai faktor, salah satunya adalah dampak perang tarif yang memengaruhi kondisi ekonomi domestik. Perang dagang antarnegara tersebut telah menyebabkan kenaikan harga barang-barang impor, sehingga memicu inflasi. Meskipun ada dorongan untuk menurunkan suku bunga demi merangsang pertumbuhan ekonomi, risiko jangka panjang tetap menjadi pertimbangan serius bagi The Fed.
Ketika inflasi naik, daya beli konsumen cenderung turun, yang pada gilirannya dapat memperlambat aktivitas ekonomi. Selain itu, imigran yang bekerja di AS juga mengalami dampak signifikan akibat perubahan kebijakan perdagangan internasional. Dalam situasi ini, The Fed harus mencari keseimbangan antara mendukung pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas harga. Hal ini menjadi tantangan besar karena setiap keputusan yang diambil akan berpengaruh luas, baik di tingkat nasional maupun global.
Di Asia, khususnya di China dan Indonesia, kebijakan suku bunga juga ditentukan oleh kondisi ekonomi yang unik. Kedua negara ini memilih untuk mempertahankan level suku bunga guna menghadapi tekanan nilai tukar dan menjaga tingkat inflasi tetap terkendali. Langkah ini dianggap penting untuk melindungi ekonomi domestik dari volatilitas pasar global yang semakin tidak menentu.
China, sebagai salah satu pemain utama dalam industri manufaktur global, sangat rentan terhadap fluktuasi nilai mata uang. Oleh karena itu, menjaga tingkat suku bunga menjadi strategi efektif untuk meminimalisir risiko kerugian akibat pelemahan yuan. Di sisi lain, Indonesia menghadapi tantangan serupa terkait dengan rupiah. Dengan mempertahankan suku bunga, Bank Indonesia bertujuan untuk menstabilkan nilai tukar rupiah sekaligus memastikan bahwa inflasi tetap berada dalam batas aman. Dalam jangka panjang, kebijakan ini diharapkan dapat memberikan stabilitas ekonomi yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan berkelanjutan di kedua negara tersebut.