Pada Sabtu, pasukan militer Israel mengumumkan ekspansi operasi darat mereka di Jalur Gaza bagian selatan. Fokus serangan ini adalah daerah Jeneina di Kota Rafah, yang dilakukan untuk memperluas apa yang disebut sebagai "zona keamanan defensif." Serangan tersebut telah menargetkan puluhan lokasi penting dalam akhir pekan terakhir dan merupakan bagian dari upaya Israel untuk memperkuat zona penyangga antara utara dan selatan Gaza. Sejak Oktober 2023, konflik ini telah menewaskan lebih dari 50.000 warga Palestina serta melukai ratusan ribu lainnya.
Situasi krisis ini semakin memanas setelah operasi udara mendadak yang diluncurkan oleh tentara Israel pada 18 Maret. Akibatnya, lebih dari 920 orang tewas, sementara lebih dari dua ribu orang cedera. Insiden ini juga menyebabkan gagalnya gencatan senjata dan perjanjian pertukaran tahanan yang sebelumnya telah disepakati pada Januari lalu.
Bulan November tahun lalu, Pengadilan Kriminal Internasional (PKI) menerbitkan surat perintah penangkapan atas Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanannya Yoav Gallant. Keduanya dituduh melakukan kejahatan perang dan pelanggaran terhadap hukum kemanusiaan di wilayah Gaza. Selain itu, Israel juga sedang menghadapi tuduhan genosida di Mahkamah Internasional karena aksi agresif mereka terhadap warga sipil.
Konflik ini menimbulkan dampak besar bagi masyarakat lokal, dengan mayoritas korban berasal dari kalangan wanita dan anak-anak. Angka-angka tersebut mencerminkan skala kekejaman yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah baru-baru ini.
Dunia internasional terus memantau perkembangan situasi di wilayah tersebut. Banyak pihak berharap agar langkah-langkah diplomasi dapat segera diambil guna mengakhiri krisis yang telah merenggut begitu banyak nyawa tak berdosa. Situasi ini menunjukkan betapa kompleksnya konflik di Timur Tengah dan urgensi pencarian solusi damai yang berkelanjutan.