Dalam tradisi kehidupan beragama, bulan Dzulhijjah memiliki tempat tersendiri di hati umat Islam. Di samping menjadi bulan puncak ibadah haji, Dzulhijjah juga dikenal sebagai salah satu dari empat bulan suci yang ditetapkan oleh Allah Swt. Melalui ayat Al-Qur'an surat At-Taubah: 36, kita diajarkan bahwa setiap tindakan baik yang dilakukan di bulan-bulan ini memiliki nilai lebih besar dibandingkan dengan waktu lainnya.
Perspektif ini menarik untuk dipertimbangkan bagi pasangan yang ingin memulai rumah tangga. Pernikahan yang dilangsungkan pada masa-masa spiritual seperti ini dapat memberikan energi positif dan doa-doa khusyuk kepada keluarga baru yang terbentuk. Selain itu, bulan Dzulhijjah juga menjadi pengingat tentang nilai-nilai kesalehan dan ketulusan dalam menjalani kehidupan berumah tangga.
Islam tidak mengenal konsep "bulan baik" atau "bulan buruk" dalam hal pernikahan. Sebaliknya, ajaran agama menekankan pentingnya melaksanakan pernikahan sesegera mungkin setelah syarat-syarat telah terpenuhi. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa pernikahan adalah sarana menciptakan keluarga yang saleh dan damai.
Ketika seseorang merencanakan pernikahan di bulan Dzulhijjah, hal ini sebenarnya lebih bersifat pilihan pribadi daripada kewajiban agama. Namun, keputusan tersebut dapat dipandang sebagai bentuk apresiasi terhadap nilai-nilai spiritual yang tinggi di bulan tersebut. Dengan demikian, pasangan yang memilih waktu ini untuk melangsungkan pernikahan sering kali melakukannya dengan keyakinan bahwa mereka akan memulai kehidupan baru di saat yang penuh berkah.
Terkadang, masyarakat cenderung mempertanyakan validitas pernikahan yang dilangsungkan di bulan tertentu. Misalnya, ada anggapan bahwa bulan Syawal kurang cocok karena diasosiasikan dengan "kesialan". Ajaran Nabi Muhammad SAW justru menepis mitos-mitos semacam ini. Riwayat menunjukkan bahwa beliau sendiri menikahi Sayyidah Aisyah di bulan Syawal guna membuktikan bahwa semua bulan sama-sama baik untuk pernikahan.
Selain itu, Imam Nawawi dalam kitabnya menjelaskan bahwa larangan atau keengganan untuk menikah di bulan tertentu hanyalah warisan dari zaman jahiliyah. Keyakinan seperti ini tidak hanya tidak berdasar tetapi juga bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan bahwa segala sesuatu berasal dari kehendak Allah Swt. Oleh karena itu, jika seseorang memilih bulan Dzulhijjah untuk pernikahan, hal tersebut lebih merupakan ekspresi kecintaan terhadap ibadah daripada keterikatan pada anggapan adat.
Sebagian orang mungkin merasa ragu-ragu atau bahkan enggan melangsungkan pernikahan di bulan tertentu karena alasan-alasan non-religius. Namun, pandangan ini perlu diperbaiki dengan pemahaman bahwa Allah Swt-lah yang menentukan nasib baik maupun buruk seseorang. Dalam konteks ini, memilih waktu pernikahan lebih merupakan soal preferensi individu daripada aturan agama.
Kitab Ghayatu Talkhishi Al-Murad min Fatawi ibn Ziyad menyebutkan bahwa pertanyaan mengenai hari atau tanggal tertentu untuk acara penting seperti akad nikah tidak perlu dijawab secara eksplisit. Sebab, Islam secara tegas melarang keyakinan bahwa bintang atau elemen-elemen lain di jagat raya memiliki pengaruh langsung atas kehidupan manusia. Jika seseorang meyakini bahwa Allah Swt-lah yang menentukan segala sesuatu, maka pilihan waktu pernikahan menjadi urusan pribadi yang sah secara agama.