Di tengah proses pemilihan paus baru yang akan memimpin lebih dari satu miliar umat Katolik di seluruh dunia, Kardinal Pierbattista Pizzaballa telah menjadi salah satu kandidat terdepan. Mantan patriark Latin Yerusalem ini dikenal karena perannya yang signifikan dalam diplomasi agama dan kontribusi kepada gereja di wilayah Timur Tengah. Sebagai seorang tokoh yang menguasai bahasa Ibrani dengan baik dan memiliki pengalaman panjang di Tanah Suci, Pizzaballa menarik perhatian luas karena sikapnya yang berani serta dedikasinya terhadap perdamaian.
Pada tahun 2023, Paus Fransiskus menunjuk Pizzaballa sebagai seorang kardinal, membuka jalan bagi kemungkinan besar baginya untuk menduduki Tahta Suci. Namun, karier diplomatiknya juga mencakup kontroversi, seperti ketika ia menawarkan diri sebagai sandera kepada Hamas demi pembebasan anak-anak sandera. Meskipun demikian, keberanian dan komitmennya terhadap nilai-nilai gereja tetap diakui oleh banyak pihak.
Pizzaballa lahir pada tahun 1965 di Castel Liteggio, Italia, di mana ia menghabiskan masa kecilnya di lingkungan pedesaan yang sederhana namun damai. Keadaan ini diyakini membentuk karakternya yang tenang dan bijaksana. Selain itu, ia juga dikenal karena kefasihan dalam bahasa Ibrani, yang membuatnya dekat dengan pemimpin Israel seperti Isaac Herzog.
Sejak tahun 1993, Pizzaballa menjalin hubungan erat dengan Yerusalem, yang akhirnya ia anggap sebagai tanah air angkatnya. Di sana, ia mengajar bahasa Ibrani Alkitab dan memainkan peran penting dalam penerjemahan liturgi gereja ke dalam bahasa tersebut. Ia juga bertindak sebagai "custos" Tanah Suci, mengawasi tempat-tempat suci yang sangat penting bagi umat Kristen, Yahudi, dan Muslim.
Selain keterlibatannya dalam urusan religius, Pizzaballa juga menunjukkan kecakapan dalam hal ekonomi gereja. Ia berhasil membersihkan utang patriarkat Latin di Yerusalem melalui inisiatif reformasi finansial. Upaya ini menunjukkan bahwa ia tidak hanya seorang pemimpin spiritual tetapi juga seorang manajer yang efektif.
Dalam karier diplomatiknya, Pizzaballa memainkan peran penting dalam acara doa perdamaian yang diadakan oleh Paus Fransiskus pada tahun 2014. Acara ini melibatkan pemimpin Palestina Mahmoud Abbas dan Presiden Israel Shimon Peres. Hal ini menunjukkan kemampuan Pizzaballa dalam menjembatani perbedaan antaragama dan negara.
Meskipun kontroversi terkait pandangannya tentang konflik Israel-Hamas sempat menimbulkan kritik, Pizzaballa tetap dihormati sebagai sosok yang berdedikasi untuk perdamaian dan keadilan. Dengan latar belakang yang unik dan pengalaman yang luas, ia dianggap sebagai calon kuat untuk melanjutkan warisan Paus Fransiskus.
Keberanian Pizzaballa dalam mengambil posisi sulit dan kemampuannya untuk bekerja sama dengan berbagai pihak menjadikannya figur yang layak dipertimbangkan dalam pemilihan paus baru. Baik dalam aspek spiritual maupun administratif, ia telah membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang visioner dan berintegritas tinggi.