Pada era 1990-an, PT Astra Internasional Tbk dikenal sebagai raksasa pasar otomotif di Indonesia dengan kepemilikan lebih dari separuh pangsa pasar. Di bawah naungan keluarga Soerjadjaja, perusahaan ini juga memperluas sayapnya ke berbagai sektor seperti asuransi, tambang, alat berat, perkebunan kelapa sawit, hingga perbankan. Salah satu anak usaha mereka, Bank Summa, sempat menjadi salah satu bank swasta terbaik di Indonesia pada akhir dekade tersebut. Namun, nasib buruk menimpa bank ini ketika krisis melanda pada tahun 1992. Meskipun mendapat dukungan finansial dari beberapa pengusaha besar seperti Mohammad Jusuf Hamka alias Alun Josef, Prajogo Pangestu, dan Eka Tjipta Widjaja, upaya penyelamatan tetap tidak berhasil. Akhirnya, izin operasi Bank Summa dicabut, dan William Soerjadjaja harus menjual saham mayoritasnya di Astra International untuk menyelamatkan para nasabah.
Dalam sejarah perbankan Indonesia, nama Bank Summa pernah bersinar terang. Pada awalnya, bank ini dimiliki oleh keluarga Soerjadjaja dan tumbuh pesat setelah diakuisisi oleh Edward Soerjadjaja. Dengan modal awal yang relatif kecil, yakni sekitar Rp 200 miliar, Bank Summa berhasil mengembangkan asetnya hingga mencapai Rp 874 miliar dalam waktu singkat. Prestasi ini membawa Bank Summa masuk ke dalam daftar sepuluh bank swasta terbaik di Indonesia pada akhir 1990-an.
Namun, di tengah gemerlap kesuksesannya, badai krisis datang pada tahun 1992. Krisis ini disebabkan oleh memburuknya kualitas portofolio pinjaman serta tekanan hutang luar negeri yang mencapai Rp 1,5 triliun. Banyak kontraktor penerima pinjaman dari Bank Summa gagal membayar cicilan tepat waktu, sehingga menambah beban finansial bank ini. Dalam situasi sulit ini, Bank Indonesia (BI) hanya bisa memberikan panduan kepada pemegang saham untuk menyelesaikan masalah secara mandiri tanpa intervensi langsung.
Menghadapi ancaman kebangkrutan, keluarga Soerjadjaja mendapatkan dukungan dari beberapa tokoh bisnis ternama. Salah satunya adalah Mohammad Jusuf Hamka atau Alun Josef, seorang pengusaha kayu dari Kalimantan yang juga terlibat dalam bisnis jalan tol. Pada Maret 1992, Jusuf Hamka memberikan pinjaman sebesar Rp 200 miliar kepada William Soerjadjaja guna menyelamatkan Bank Summa. Selain itu, Prajogo Pangestu dan Eka Tjipta Widjaja juga turut membantu dengan harapan mencegah efek domino yang dapat merugikan perekonomian negara.
Sayangnya, meskipun bantuan deras mengalir, kondisi Bank Summa tak kunjung membaik. Pada akhir tahun 1992, BI resmi mencabut izin operasional bank ini. Untuk menyelamatkan uang para nasabah, William Soerjadjaja membuat keputusan sulit dengan menjual 76% sahamnya di Astra International, sebuah langkah yang akhirnya memudarkan nama keluarganya dari dunia bisnis Indonesia.
Di sisi lain, Jusuf Hamka semakin dikenal luas sebagai pengusaha sukses di bidang infrastruktur. Ia menjadi pemilik PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk., salah satu perusahaan jalan tol terbesar di Tanah Air.
Dari perspektif seorang jurnalis, cerita ini mengajarkan pentingnya manajemen risiko dalam dunia bisnis. Bahkan perusahaan besar sekalipun bisa runtuh jika tidak mampu mengendalikan kualitas portofolio pinjaman dan utang luar negeri. Selain itu, solidaritas antarpengusaha, seperti yang ditunjukkan oleh Jusuf Hamka, menunjukkan bahwa kerja sama dapat menjadi solusi dalam menghadapi krisis ekonomi. Namun, pada akhirnya, keberhasilan atau kegagalan sebuah organisasi sering kali bergantung pada kemampuan adaptasi terhadap perubahan lingkungan bisnis yang dinamis.