Sebuah peristiwa tragis terjadi di sebuah desa kecil di Kalimantan Selatan, ketika seorang pria sederhana bernama Mat Sam menemukan salah satu harta paling berharga di Indonesia. Pada tahun 1965, Mat Sam dan empat rekannya secara tidak sengaja menemukan berlian raksasa dengan ukuran mencapai 166,75 karat, sebuah penemuan yang menggemparkan dunia lokal maupun internasional. Namun, alih-alih membawa kekayaan bagi mereka, temuan ini justru menjadi awal dari derita panjang.
Berlian tersebut memiliki nilai fantastis, bahkan disamakan dengan Koh-i-Noor, berlian legendaris yang menghiasi mahkota Kerajaan Inggris. Sayangnya, nasib buruk menimpa Mat Sam dan rekan-rekannya. Setelah pemerintah mengambil alih batu mulia itu, mereka tidak menerima apresiasi yang sesuai. Dalam laporan media pada masa itu, para penemu hanya diberikan janji-janji kosong, seperti kesempatan untuk menunaikan ibadah haji. Namun, waktu berlalu tanpa ada tanda-tanda bahwa janji tersebut akan dipenuhi.
Dua tahun setelah penemuan, Mat Sam dan teman-temannya memutuskan untuk bersuara demi mendapatkan keadilan. Mereka melaporkan situasi sulit yang mereka hadapi kepada otoritas melalui kuasa hukum. Meskipun upaya ini mendapat perhatian dari Presidium Kabinet Ampera, hasil akhir dari perjuangan ini tetap terselubung dalam sepi sejarah. Sampai hari ini, tak ada bukti konkret bahwa Mat Sam dan timnya pernah merasakan manfaat langsung dari penemuan monumental tersebut.
Kisah Mat Sam mengingatkan kita tentang pentingnya pengakuan dan kompensasi adil atas kontribusi individu terhadap perkembangan bangsa. Semangat keadilan harus menjadi fondasi dalam setiap proses pengambilan keputusan, sehingga kisah serupa tidak lagi terulang di masa depan. Melalui pembelajaran ini, mari kita dorong sistem yang lebih transparan dan inklusif agar semua orang dapat merasakan hasil kerja keras mereka.