Pada tahun 2024, industri pinjaman daring (pindar) di Indonesia mengalami peningkatan signifikan dalam jumlah kredit macet. Data terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa pendanaan bermasalah mencapai Rp2,01 triliun, dengan mayoritas borrower individu berusia antara 19 hingga 34 tahun. Situasi ini memicu perhatian serius terhadap kemampuan bayar dan manajemen risiko dalam sektor fintech peer to peer (P2P) lending.
Agusman, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan OJK, menjelaskan bahwa porsi borrower individu mencapai 74,74% dari total pendanaan bermasalah. Di antara mereka, generasi milenial dan Gen Z mendominasi dengan kontribusi sebesar 52,01%. Selain itu, kelompok usia 35-54 tahun juga berkontribusi sebesar 41,49%. Faktor utama yang menyebabkan kredit macet adalah rendahnya kemampuan bayar borrower.
Sementara itu, terdapat 22 penyelenggara fintech P2P lending yang memiliki tingkat TWP90 di atas 5%, meningkat satu entitas dibandingkan bulan November 2024. OJK terus melakukan pemantauan intensif terhadap kualitas pendanaan industri pindar. Rasio TWP90 dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk kualitas credit scoring borrower dan efektivitas proses collection.
Berdasarkan data OJK, outstanding pinjaman daring fintech P2P lending mencapai Rp77,02 triliun pada tahun 2024, tumbuh 29,14% dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini seiring dengan peningkatan penggunaan internet di Indonesia. Meskipun demikian, tantangan utama bagi industri ini adalah memastikan keberlanjutan operasional sambil menjaga kualitas kredit.
Peningkatan kredit macet di kalangan generasi muda menjadi isu penting yang perlu ditangani. Upaya pemantauan ketat dan peningkatan kualitas credit scoring serta proses collection akan menjadi kunci untuk memitigasi risiko di masa depan. Industri pindar harus terus berinovasi dan memperkuat mekanisme pengawasan untuk memastikan stabilitas finansial.