Pada sebuah kabar mengejutkan dari Kabupaten Buleleng, Bali, ditemukan sejumlah siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) menghadapi kesulitan dalam membaca. Data terbaru menunjukkan bahwa lebih dari 360 siswa mengalami hambatan berupa tidak bisa membaca atau kurang lancar membaca. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran luas mengenai kualitas pendidikan dasar dan faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan literasi anak-anak di Indonesia.
Dalam laporan terkini, sebanyak 155 siswa di Kabupaten Buleleng termasuk dalam kategori tidak bisa membaca sama sekali, sementara 208 siswa lainnya dikategorikan sebagai tidak lancar membaca. Plt Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Buleleng, Putu Ariadi Pribadi, menjelaskan bahwa fenomena ini dipicu oleh kombinasi faktor internal maupun eksternal yang kompleks.
Faktor internal mencakup rendahnya motivasi belajar, gangguan seperti disleksia, serta kurangnya dukungan dari keluarga. Di sisi lain, faktor eksternal meliputi dampak jangka panjang dari pembelajaran daring selama pandemi, pemahaman yang salah tentang kurikulum, serta kondisi sosial yang merusak psikologi siswa, seperti trauma akibat perceraian orang tua atau perundungan di sekolah.
Situasi ini juga mendapat tanggapan serius dari pihak nasional. Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menyebut temuan ini sebagai fenomena gunung es. Ia menegaskan bahwa masalah ini bukan hanya terjadi di Buleleng, tetapi telah meluas ke berbagai daerah, bahkan menjangkau siswa SMA di beberapa wilayah Indonesia. Ubaid menyatakan bahwa sistem pendidikan nasional tampak gagal dalam memberikan fondasi dasar bagi siswa untuk menguasai keterampilan membaca.
Dari perspektif seorang wartawan, kasus ini mengingatkan kita akan pentingnya evaluasi mendalam terhadap sistem pendidikan Indonesia. Bukan hanya soal infrastruktur atau teknologi, tetapi juga tentang bagaimana lingkungan belajar dan dukungan sosial dapat memengaruhi perkembangan anak. Solusi holistik yang melibatkan kolaborasi antara pemerintah, guru, dan masyarakat sangat diperlukan agar generasi mendatang tidak lagi terjebak dalam krisis literasi yang sama.