Dua mantan karyawan Microsoft, Hossam Nasr dan Abdo Mohamed, mengajukan tuduhan serius terhadap perusahaan teknologi raksasa tersebut. Mereka menuduh bahwa layanan teknologi Microsoft telah dimanfaatkan oleh militer Israel untuk melanjutkan operasinya di Gaza. Tuduhan ini muncul setelah keduanya dipecat pada tahun 2024 karena mengorganisir acara solidaritas bagi warga Palestina. Kedua mantan staf ini menegaskan bahwa teknologi seperti komputasi awan, kecerdasan buatan (AI), penerjemahan, dan penyimpanan data telah menjadi alat vital dalam meningkatkan intensitas serangan militer Israel.
Kampanye yang dikenal sebagai "No Azure for Apartheid" didirikan oleh Hossam Nasr dan Abdo Mohamed sebagai bentuk protes terhadap kemitraan antara Microsoft dan militer Israel. Kampanye ini terinspirasi dari gerakan sebelumnya yang dilakukan oleh karyawan di perusahaan teknologi lain, seperti Google dan Amazon. Menurut Nasr, inspirasi utama mereka berasal dari insiden Sheikh Jarrah pada tahun 2021, ketika anak-anak Palestina menjadi korban langsung dari serangan udara Israel.
Hossam Nasr menjelaskan bahwa tuntutan utama kampanye ini adalah memutuskan semua kemitraan yang mendukung operasi militer Israel. Ia menekankan pentingnya berhenti memberikan kontribusi material kepada sistem yang dinilai bertanggung jawab atas penderitaan warga Palestina. “Kami tidak ingin lagi menjadi bagian dari genosida saudara-saudari kami di wilayah itu,” ungkap Nasr.
Teknologi Microsoft, menurut laporan yang dikutip oleh Nasr, telah digunakan secara luas oleh militer Israel. Layanan penerjemahan Microsoft, misalnya, digunakan untuk menerjemahkan data tentang warga Palestina dari bahasa Arab ke bahasa Ibrani. Data ini kemudian dimasukkan ke dalam jaringan sistem penargetan AI, yang membantu militer Israel menentukan lokasi-lokasi pengeboman di Gaza. Selain itu, penggunaan alat AI Microsoft oleh Israel meningkat hingga 200 kali lipat antara Oktober 2023 dan Maret 2024.
Peningkatan signifikan juga terjadi dalam penggunaan penyimpanan cloud Microsoft. Menurut Nasr, kapasitas penyimpanan mencapai 13,6 petabyte selama periode tersebut. Lebih lanjut, ia menyebut bahwa Microsoft Azure menjadi tuan rumah bank target militer Israel serta pencatatan sipil penduduk Palestina.
Berkaca pada fakta-fakta yang disampaikan, peran Microsoft dalam konteks konflik di wilayah tersebut semakin dipertanyakan. Tuduhan ini tidak hanya menyoroti hubungan bisnis antara perusahaan teknologi dan negara-negara tertentu, tetapi juga memunculkan pertanyaan etis tentang tanggung jawab moral perusahaan global dalam konflik internasional. Hossam Nasr dan Abdo Mohamed berharap bahwa kampanye mereka dapat memicu perubahan signifikan dalam kebijakan perusahaan teknologi besar seperti Microsoft.