Dalam sebuah momen bersejarah, Friedrich Merz resmi terpilih sebagai kanselir baru Jerman setelah pemungutan suara kedua di Bundestag pada hari Selasa (6/5/2025). Meskipun awalnya menghadapi tantangan besar dengan kekurangan enam suara dalam upaya pertama, ia berhasil memperoleh dukungan dari kubu konservatif dan sekutunya untuk mencapai 325 suara. Keberhasilan ini menandai situasi unik dalam sejarah pasca-perang Jerman, karena belum pernah ada calon kanselir yang gagal dipilih pada upaya pertama setelah kesepakatan koalisi tercapai.
Pada pagi hari yang penuh ketegangan di ibu kota Berlin, Friedrich Merz akhirnya berhasil meraih posisi tertinggi dalam sistem politik Jerman. Setelah pemungutan suara pertama tidak mencapai ambang batas minimum sebanyak 316 suara, beberapa jam kemudian, dukungan tambahan dari partai-partai konservatif mengubah dinamika politik. Dalam pemungutan suara kedua, Merz berhasil mendapatkan 325 suara, melampaui angka yang dibutuhkan.
Tentangan terhadap kandidat berusia 69 tahun ini datang dari berbagai fraksi parlemen, termasuk Partai Kiri dan Hijau, yang secara tegas menolak visinya untuk masa depan Jerman. Untuk mencegah penundaan lebih lanjut, empat faksi utama sepakat mengubah prosedur parlementer, memungkinkan pemungutan suara kedua berlangsung lebih cepat.
Jens Spahn, pemimpin kelompok parlemen CDU/CSU, menyampaikan pesan penting kepada para anggota parlemen bahwa dunia internasional tengah mengamati keputusan mereka. “Seluruh Eropa bahkan dunia sedang mengawasi langkah kita,” katanya dengan nada serius, menekankan urgensi tanggung jawab kolektif dalam situasi ini.
Meski akhirnya berhasil memenangkan kursi kanselir, perjalanan Friedrich Merz tidak luput dari kritik. Beberapa politisi, seperti Bernd Baumann dari AfD, mengomentari kegagalan awalnya sebagai "kekalahan bersejarah." Renate Kuenast dari Partai Hijau juga menyoroti hilangnya otoritas besar bagi kanselir yang baru terpilih.
Koalisi baru antara CDU dan SPD telah berjanji untuk melanjutkan agenda utama mantan kanselir Olaf Scholz, termasuk dukungan bagi Ukraina dan rencana pengembangan anggaran militer melalui pembukaan rem utang konstitusional.
Situasi ini menjadi bukti kompleksitas politik Jerman saat ini, yang ditandai oleh perpecahan internal dan tantangan luar negeri yang semakin meningkat.
Sebagai jurnalis yang menyaksikan peristiwa ini, saya melihat pemilihan Friedrich Merz sebagai refleksi dari perjuangan Jerman dalam menjaga stabilitas politik di tengah tekanan global. Meskipun berhasil meraih posisi tersebut, tantangan besar masih menanti, baik dalam hal rekonsiliasi antarpartai maupun implementasi kebijakan strategis untuk masa depan bangsa. Bagi pembaca, momen ini bisa menjadi pengingat akan pentingnya dialog dan kompromi dalam sistem demokrasi modern.