Maarif Institute for Culture and Humanity menyoroti rencana Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mengirimkan siswa dengan perilaku menyimpang ke barak militer. Rencana ini telah diterapkan di Purwakarta dan direncanakan diperluas ke wilayah lain, seperti Bandung dan Cianjur. Direktur Eksekutif Maarif Institute Andar Nubowo mempertanyakan efektivitas pendekatan ini, mengingat dampak negatifnya terhadap sistem pendidikan secara keseluruhan. Pendekatan represif tersebut tidak hanya mencerminkan kegagalan pemerintah dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan inklusif tetapi juga melanggar prinsip hak asasi anak.
Kebijakan ini juga bertentangan dengan arah reformasi pendidikan nasional yang berfokus pada pendidikan bermutu, inklusif, dan berkeadilan. Selain itu, penggunaan metode militeristik untuk membina siswa dapat memperdalam stigma sosial serta meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental pada remaja. Artikel ini mendalami dua aspek utama dari kritik terhadap kebijakan ini: pelanggaran hak asasi anak dan kontradiksi terhadap visi pendidikan nasional.
Pendekatan militeristik dalam membina siswa yang dianggap menyimpang dipertanyakan karena potensinya merusak sistem perlindungan anak. Pengiriman siswa ke barak militer merupakan bentuk kekerasan simbolik dan struktural yang melawan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Menurut teori Bourdieu & Passeron (1977), pendekatan semacam ini menanamkan nilai dominan tanpa memberikan ruang bagi dialog dan refleksi, sehingga siswa kehilangan otonomi dalam proses pembelajaran mereka.
Dari perspektif psikologi pendidikan, pendekatan ini gagal membangun kesadaran moral dan malah memperkuat label negatif terhadap siswa. Lingkungan pendidikan yang berbasis hukuman dan stigma dapat memperbesar risiko depresi, kecemasan, dan isolasi sosial. Survei menunjukkan bahwa satu dari tiga remaja di Indonesia mengalami gangguan psikologis, sementara data WHO (2024) mencatat 14% anak dan remaja dunia menghadapi masalah serupa. Oleh karena itu, kebijakan ini tidak hanya bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak tetapi juga melanggar Pasal 28I UUD 1945 dan Konvensi Hak Anak yang diratifikasi Indonesia melalui Keppres No. 36 Tahun 1990.
Rencana pengiriman siswa ke barak militer juga bertentangan dengan arah reformasi pendidikan nasional yang menempatkan peserta didik sebagai subjek utama dalam proses pembelajaran. Komitmen pemerintah untuk mewujudkan pendidikan dasar dan menengah yang bermutu, inklusif, dan berkeadilan tercermin dalam Konsolidasi Nasional Pendidikan Dasar dan Menengah 2025. Dalam visi ini, setiap anak berhak atas lingkungan belajar yang aman, merata, dan menghargai keberagaman.
Pendekatan militeristik justru menekankan disiplin paksaan yang mengabaikan pentingnya dialog dan pemahaman mendalam terhadap kondisi siswa. Sebagai hasilnya, kebijakan ini melemahkan upaya pemerintah dalam menciptakan sistem pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan generasi masa depan. Alih-alih memperbaiki perilaku siswa, kebijakan ini berpotensi menciptakan resistensi terhadap institusi pendidikan dan menambah beban emosional pada siswa. Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah daerah untuk mempertimbangkan ulang kebijakan ini demi kepentingan terbaik anak-anak Indonesia.