Pada awal tahun 2025, industri minyak dan gas global menghadapi tantangan besar akibat pelemahan harga minyak dunia. Raksasa energi asal Belanda, Shell, mencatatkan penurunan laba bersih sebesar 35% pada kuartal pertama dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penurunan ini terjadi karena pendapatan total perusahaan turun sekitar 6%. Selain itu, kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat Donald Trump juga memperburuk situasi dengan menekan permintaan global dan memperlambat ekonomi dunia. Meskipun demikian, hasil Shell masih melampaui ekspektasi analis, dan perusahaan mengumumkan program pembelian kembali saham senilai US$3,5 miliar untuk menjaga kepercayaan investor. Pesaing utama Shell, BP, juga melaporkan performa buruk dengan penurunan laba bersih hingga 70%, yang disebabkan oleh melemahnya penjualan gas dan margin penyulingan.
Dalam atmosfer ekonomi yang penuh ketegangan, Shell melaporkan hasil keuangan yang mengecewakan pada Jumat (2/5/2025). Di tengah-tengah musim pengumuman laporan keuangan, raksasa minyak tersebut mengungkap bahwa laba bersihnya anjlok dari US$7,4 miliar menjadi US$4,8 miliar pada kuartal pertama. Hal ini terjadi setelah pendapatan total perusahaan menyusut dari US$74,7 miliar menjadi US$70,2 miliar. Penyebab utamanya adalah pelemahan harga minyak mentah yang dipicu oleh kekhawatiran pasar terkait dampak negatif dari kebijakan tarif AS.
Keprihatinan pasar semakin meningkat seiring kecemasan akan perlambatan ekonomi global. Dalam tanggapannya, Shell menyatakan bahwa tarif baru yang diberlakukan oleh administrasi Trump telah memberikan tekanan signifikan terhadap permintaan minyak global. Meski begitu, CEO Shell, Wael Sawan, menunjukkan optimisme dengan meluncurkan program buyback senilai US$3,5 miliar sebagai langkah strategis untuk mempertahankan kepercayaan investor.
Tren ini tidak hanya terjadi pada Shell tetapi juga pada pesaingnya, BP. Perusahaan asal Inggris tersebut mencatatkan kerugian lebih besar dengan penurunan laba bersih sebesar 70% menjadi hanya US$687 juta pada kuartal pertama. Penyebab utamanya adalah melemahnya penjualan gas serta margin penyulingan yang rendah. Situasi ini mendorong kedua perusahaan untuk fokus kembali pada operasional inti mereka, yaitu minyak dan gas, sambil menarik diri dari proyek-proyek energi terbarukan seperti offshore wind.
Selama beberapa bulan terakhir, Shell telah secara resmi mengumumkan bahwa mereka tidak lagi akan memimpin pengembangan proyek angin lepas pantai baru. Langkah ini mencerminkan perubahan strategi yang signifikan dari fokus sebelumnya pada transisi energi menuju sumber daya yang lebih ramah lingkungan.
Di sisi lain, kondisi ini menjadi indikasi kuat bahwa industri migas masih sangat rentan terhadap fluktuasi harga komoditas dan kebijakan perdagangan internasional.
Dari perspektif seorang jurnalis atau pembaca, laporan ini memberikan gambaran mendalam tentang bagaimana kebijakan ekonomi global dapat berdampak langsung pada sektor energi. Ini menunjukkan pentingnya diversifikasi dalam bisnis, baik dalam hal produk maupun pasar. Shell dan BP harus terus beradaptasi dengan dinamika pasar yang cepat berubah jika ingin bertahan di era ketidakpastian ini. Selain itu, keputusan untuk menarik diri dari inisiatif energi terbarukan bisa menjadi tanda bahwa profitabilitas jangka pendek sering kali mengalahkan tujuan jangka panjang, termasuk upaya mitigasi dampak lingkungan. Oleh karena itu, penting bagi perusahaan-perusahaan besar untuk menemukan keseimbangan antara pencapaian finansial dan tanggung jawab sosial.