Pada awal Maret, peringkat orang terkaya di Indonesia mengalami fluktuasi signifikan. Prajogo Pangestu, raja petrokimia, mencatat lonjakan kekayaan yang luar biasa, sementara tokoh lain seperti Low Tuck Kwong dan Hartono bersaudara juga menunjukkan posisi yang kuat dalam daftar ini. Kekayaan mereka didominasi oleh sektor-sektor tertentu, seperti manufaktur dan perbankan, yang berpengaruh besar pada pergerakan harta mereka.
Prajogo Pangestu, pemilik Grup Barito Pacific, menjadi sorotan utama dengan peningkatan kekayaan yang mencapai US$2 miliar dalam sehari. Total kekayaannya kini mencapai US$32,9 miliar. Lonjakan ini menempatkannya sebagai salah satu individu dengan pertumbuhan kekayaan tercepat di dunia. Sedangkan Low Tuck Kwong, pemilik PT Bayan Resources Tbk., memiliki kekayaan sebesar US$27,3 miliar. Kekayaannya sangat bergantung pada pergerakan saham BYAN, yang membuatnya sangat rentan terhadap volatilitas pasar.
Berbeda dengan industri lain, bisnis petrokimia dan sumber daya alam memberikan kontribusi signifikan terhadap kekayaan Prajogo dan Low. Prajogo berhasil memperluas kerajaan bisnisnya melalui diversifikasi investasi di berbagai sektor petrokimia, sementara Low lebih fokus pada ekstraksi dan perdagangan batubara. Fluktuasi harga komoditas global turut memengaruhi pertumbuhan kekayaan mereka. Dengan demikian, kedua pengusaha ini harus tetap waspada terhadap perubahan kondisi pasar untuk mempertahankan posisi mereka.
Hartono bersaudara, Robert Budi Hartono dan Michael Bambang Hartono, menduduki posisi ketiga dan keempat dalam daftar orang terkaya di Indonesia. Mereka memiliki kekayaan masing-masing sebesar US$22,5 miliar dan US$21,6 miliar. Sebagian besar kekayaan mereka berasal dari investasi di PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA). Meskipun demikian, asal kekayaan mereka bermula dari industri tembakau, yang masih menjadi salah satu produsen rokok kretek terbesar di negeri ini.
Sri Prakash Lohia, konglomerat asal India, menempati posisi kelima dengan kekayaan sebesar US$8,5 miliar. Dia mendirikan PT Indorama Synthetics Tbk. pada usia 21 tahun, yang kini menjadi perusahaan manufaktur serat sintetis terkemuka. Pertumbuhan kekayaan Hartono bersaudara dan Lohia tidak hanya ditopang oleh bisnis inti mereka, tetapi juga strategi diversifikasi yang cerdas. Investasi di sektor perbankan dan manufaktur telah membantu mereka mempertahankan stabilitas keuangan meski menghadapi tantangan ekonomi global.