Penggunaan pendekatan militer dalam dunia pendidikan menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat dan para aktivis. Sebuah rencana pemerintah untuk menjadikan program barak militer bagi siswa yang dianggap nakal sebagai kebijakan nasional memicu kritik tajam dari berbagai pihak. Program ini awalnya diperkenalkan oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, sebelum mendapat dukungan dari Menteri HAM Natalius Pigai.
Kritik terhadap program ini datang dari Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji. Menurutnya, langkah ini mencerminkan kegagalan sistemik Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dalam menyediakan lingkungan belajar yang kondusif. "Pendekatan militer yang keras dan otoriter tidak sesuai dengan prinsip pendidikan modern yang harus mendorong kreativitas, kemandirian, serta pengembangan potensi anak secara menyeluruh," ungkap Ubaid.
Sekolah idealnya adalah tempat di mana anak-anak dapat berkembang dengan bahagia, merasa aman, dan mengasah kemampuan mereka tanpa tekanan berlebihan. Namun, model barak militer cenderung menciptakan budaya patuh buta yang menghambat perkembangan intelektual dan emosional anak-anak. Oleh karena itu, JPPI menyerukan pembatalan total atas wacana ini dan menuntut evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Kementerian Pendidikan.
Pendidikan memiliki peran vital dalam membentuk generasi penerus bangsa yang cerdas, kritis, dan berbudi pekerti. Mengandalkan metode disiplin yang kaku justru akan menghambat proses tersebut. Sebaliknya, pendidikan yang humanis dan berbasis nilai akan memberdayakan anak-anak untuk menjadi individu yang mandiri dan bertanggung jawab. Dengan demikian, upaya membangun masa depan bangsa harus difokuskan pada solusi inovatif yang menghargai hak asasi manusia dan potensi setiap anak.