Pada abad ke-14, seorang penguasa Afrika Barat berhasil menorehkan namanya sebagai salah satu raja terkaya dalam sejarah dunia. Dengan kekayaan mencapai angka fantastis hingga Rp 8.000 triliun jika dihitung dengan inflasi modern, Mansa Musa jauh melampaui miliarder teknologi masa kini maupun tokoh-tokoh besar lain seperti Augustus Caesar dan William the Conqueror. Kekayaannya berasal dari kontrol atas penambangan emas, garam, perdagangan gading gajah, serta ekspansi wilayah yang luas. Sebagai seorang Muslim taat, dia juga dikenang karena perjalanan hijrahnya ke Makkah yang begitu megah hingga mengguncang stabilitas ekonomi lokal di Mesir.
Mansa Musa menjadi penerus takhta setelah saudaranya, Abu-Bakr, memilih melakukan ekspedisi laut besar-besaran dan tak pernah kembali. Selama masa pemerintahannya, Mali berkembang pesat sebagai pusat perdagangan dan budaya. Dia membangun masjid-masjid, sekolah-sekolah, serta perpustakaan, menjadikan Timbuktu sebagai ikon intelektualitas dunia Islam pada masanya. Meski kerajaan tersebut akhirnya runtuh, warisan Mansa Musa tetap hidup dalam sejarah sebagai simbol kebesaran dan kemakmuran.
Dalam periode kepemimpinannya, Mansa Musa membawa Mali menuju era kejayaan melalui pengelolaan sumber daya alam yang efektif. Kekayaan negara ini sangat bergantung pada dua komoditas utama: emas dan garam. Penambahan perdagangan gading gajah semakin memperkuat dominasi Mali dalam pasar internasional pada waktu itu. Di bawah kepemimpinan Musa, kerajaan meluas hingga lebih dari 3.000 km, mencakup berbagai wilayah penting termasuk Timbuktu.
Ketika Mansa Musa naik tahta, ia melanjutkan tradisi keluarga dalam memperluas perdagangan lintas batas. Kerajaan Mali menjadi penghasil emas terbesar di dunia saat itu, menyumbang lebih dari separuh total pasokan global. Keberhasilan ini tidak hanya didorong oleh sumber daya alam, tetapi juga strategi perdagangan yang cermat. Musa memastikan bahwa semua jalur perdagangan di bawah kendali Mali beroperasi secara efisien dan adil, menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif bagi para pedagang dari berbagai penjuru dunia. Selain itu, ia juga menggalakkan integrasi budaya dan ilmu pengetahuan melalui hubungan diplomatik dengan negara-negara tetangga.
Bukan hanya sebagai pemimpin ekonomi, Mansa Musa juga dikenal sebagai tokoh agama yang sangat taat. Pada tahun 1324-1325, dia melakukan perjalanan besar ke Makkah, yang menjadi salah satu momen paling terkenal dalam sejarahnya. Perjalanan ini dilakukan dengan rombongan besar yang mencerminkan kemewahan dan kekayaan Mali. Para pelancongnya mengenakan pakaian mewah, sementara unta-unta mereka membawa beban emas murni yang digunakan untuk pembelian dan sumbangan selama perjalanan.
Perjalanan Mansa Musa ke Makkah bukan hanya soal ibadah, tetapi juga memiliki dampak signifikan terhadap dunia ekonomi. Saat melewati Kairo, dia begitu murah hati sehingga membagikan emas dalam jumlah besar, menyebabkan inflasi yang memengaruhi ekonomi lokal selama satu dekade penuh. Setelah kembali dari perjalanan, Musa fokus pada revitalisasi kota-kotanya, terutama dalam bidang pendidikan dan arsitektur. Dia mendirikan institusi-institusi intelektual, seperti masjid dan sekolah, yang menjadikan Timbuktu sebagai pusat pembelajaran Islam. Warisan ini tetap menjadi bagian penting dari identitas Mali hingga hari ini.