Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang bertujuan untuk melarang penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak. Regulasi ini, yang dirancang sebagai implementasi Undang-Undang Kesehatan, memunculkan banyak pertanyaan dan kebingungan di kalangan pelaku usaha ritel. Di satu sisi, pihak ritel mendukung upaya mengurangi konsumsi rokok bagi generasi muda, tetapi mereka merasa aturan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan lapangan dan berpotensi menimbulkan masalah baru.
Ketidakjelasan terkait pelaksanaan regulasi ini diperparah oleh kurangnya sosialisasi dan edukasi dari pemerintah kepada para pemangku kepentingan. Selain itu, kebijakan ini juga dapat menyebabkan meningkatnya peredaran rokok ilegal serta menurunkan pendapatan cukai negara secara signifikan.
Para pelaku bisnis ritel menyampaikan keprihatinan mereka tentang dampak ekonomi dari larangan penjualan rokok dalam radius tertentu dari institusi pendidikan dan area bermain anak-anak. Mereka menilai bahwa regulasi ini tidak hanya mengganggu operasional bisnis, tetapi juga dapat menciptakan celah bagi produk ilegal masuk ke pasar.
Dalam konteks ini, Ketua Umum Aprindo, Solihin, menyoroti ketidakadilan dalam pelaksanaan aturan tersebut. Dia menegaskan bahwa dunia usaha belum dilibatkan dalam proses penyusunan kebijakan ini. Tanpa adanya diskusi atau kolaborasi dengan stakeholder, pelaksanaannya menjadi sulit dipahami dan sering kali disalahartikan oleh petugas di lapangan. Sebagai langkah lanjutan, Aprindo mempertimbangkan untuk melakukan judicial review guna mencari kejelasan hukum terkait pasal-pasal kontroversial dalam PP 28/2024. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa regulasi tidak hanya melindungi kesehatan masyarakat tetapi juga memperhatikan aspek ekonomi.
Implementasi larangan penjualan rokok dalam radius tertentu dari lokasi strategis seperti sekolah dan taman bermain anak memiliki risiko besar terhadap sektor ekonomi nasional. Beberapa pelaku industri khawatir bahwa kebijakan ini akan mengurangi omzet signifikan dari sektor ritel tradisional maupun modern. Selain itu, pengaruhnya terhadap penerimaan cukai negara juga menjadi perhatian utama.
Budihardjo Iduansjah dari Hippindo menjelaskan bahwa larangan ini dapat membuka peluang bagi peredaran rokok ilegal karena konsumen mungkin beralih ke pasar gelap untuk memenuhi kebutuhan mereka. Ini bisa menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak yang besar bagi negara. Anang Zunaedi dari Akrindo menambahkan bahwa UMKM seperti warung kelontong akan sangat terdampak, dengan kemungkinan penurunan omzet hingga puluhan triliun rupiah. Dengan demikian, kebijakan ini harus direvisi agar lebih inklusif dan mempertimbangkan efek jangka panjang terhadap semua pihak yang terlibat.