Sebuah rencana untuk menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) yang lebih detail terkait larangan penjualan rokok di radius 200 meter dari fasilitas pendidikan dan tempat bermain anak menjadi sorotan. Aturan ini merupakan lanjutan dari PP Nomor 28 Tahun 2024, yang telah menetapkan pembatasan zonasi penjualan dan iklan produk tembakau. Para pelaku usaha ritel dan UMKM menyatakan kekhawatiran bahwa kebijakan baru ini dapat memberatkan bisnis mereka, terutama karena sebagian besar omzetnya berasal dari penjualan rokok. Selain itu, minimnya sosialisasi dan edukasi dari pemerintah membuat kebijakan ini dirasa tidak adil.
Pada musim pengambilan keputusan penting dalam bidang regulasi produk tembakau, langkah pemerintah melalui rancangan Perpres tentang pengendalian penjualan rokok mendapatkan tanggapan serius dari kalangan pebisnis. Di ibu kota negara, Jakarta, Wakil Ketua Umum Asosiasi Koperasi dan Ritel Indonesia (Akrindo), Anang Zunaedi, menyoroti potensi dampak buruk kebijakan ini bagi para pedagang yang sudah eksis sebelum fasilitas pendidikan atau tempat bermain dibangun di sekitar lokasi mereka. Menurutnya, aturan tersebut akan membebani para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang mengandalkan sekitar 40% omzet mereka dari penjualan rokok.
Di sisi lain, Ketua Umum Komite Ekonomi Rakyat Indonesia (KERIS), Ali Mahsun Atmo, juga menunjukkan kekhawatiran terhadap rencana tersebut. Ia belum mendengar secara resmi tentang rancangan Perpres ini tetapi menyatakan bahwa PP 28/2024 saja telah menuai kontroversi. Oleh karena itu, ia mempertanyakan urgensi kebijakan tambahan yang bisa memperburuk situasi ekonomi masyarakat kecil. Menurut Ali, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) harus fokus pada upaya edukasi yang lebih masif daripada menciptakan aturan-aturan yang dinilai kurang berdasarkan data ilmiah.
Situasi ini diperparah oleh minimnya sosialisasi dan diskusi terbuka antara pihak pemerintah dengan para pelaku usaha. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Mujiburrohman, bahkan menyatakan bahwa pihaknya sama sekali tidak dilibatkan dalam proses pembahasan rancangan Perpres tersebut. Akibatnya, polemik terkait pengendalian produk tembakau diprediksi akan semakin memanas, dengan ancaman protes langsung jika aspirasi mereka tidak didengar.
Dari perspektif sektor ritel dan pasar tradisional, kebijakan ini dianggap tidak hanya merugikan secara finansial tetapi juga mengabaikan realitas kondisi lokal. Mereka menegaskan perlunya solusi yang lebih inklusif dan berbasis pada kebutuhan nyata masyarakat.
Ke depannya, jika kebijakan ini tetap dipaksakan tanpa pertimbangan yang matang, ada risiko signifikan terhadap kelangsungan usaha kecil serta meningkatkan ketidakstabilan ekonomi di tingkat dasar.
Berita ini menyoroti pentingnya keseimbangan antara tujuan kesehatan masyarakat dan keberlanjutan ekonomi usaha kecil. Sebagai jurnalis, saya melihat bahwa setiap kebijakan publik harus melalui tahap kajian mendalam dan melibatkan semua pihak yang terdampak. Kebijakan pengendalian rokok memang perlu, namun implementasinya harus adil dan transparan agar tidak menimbulkan kerugian bagi kelompok rentan seperti UMKM.