Dalam kasus korupsi besar-besaran yang melibatkan hakim dan pengacara terkait vonis bebas untuk perkara fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO), Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan sejumlah tersangka. Empat hakim, termasuk mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, serta dua kuasa hukum dari perusahaan terkait, telah digelandang ke mobil tahanan. Mereka akan menjalani penahanan selama 20 hari di Rutan Salemba Cabang Kejagung. Skandal ini tidak hanya menjadi masalah kriminalitas biasa tetapi juga mencerminkan pelanggaran sistemik dalam lembaga yudikatif. Para aktivis menyerukan hukuman maksimal bagi para pelaku agar memberikan efek jera.
Pada awal musim semi yang cerah namun penuh perhatian, dunia peradilan Indonesia diramaikan dengan pengungkapan skandal suap bernilai fantastis Rp60 miliar. Kejadian ini melibatkan empat hakim dan dua pengacara senior dari sebuah korporasi besar yang berurusan dengan ekspor CPO. Di antara mereka adalah Arif Nuryanta, Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom, yang semuanya berasal dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau cabang-cabangnya. Selain itu, panitera muda PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, juga turut disebut sebagai tersangka utama.
Peristiwa ini pertama kali terungkap pada Senin, 21 April 2025, ketika Koordinator Aksi Mafia Hakim, Dendi Budiman, membeberkan detail dugaan suap kepada publik. Ia menyatakan bahwa korupsi di lembaga yudikatif bukan hanya sekadar pelanggaran hukum tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap rakyat. Menurut Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, hukuman mati dapat diberlakukan jika kasus tersebut dianggap luar biasa. Hal ini mendesak aparat penegak hukum, baik Kejagung maupun Mahkamah Agung (MA), untuk mengambil langkah serius demi mereformasi sistem peradilan.
Di tengah sorotan publik, Kejagung telah menahan semua tersangka di Rutan Salemba Cabang Kejagung selama 20 hari guna penyelidikan lebih lanjut. Langkah ini bertujuan untuk memastikan bahwa proses hukum berlangsung transparan dan adil tanpa intervensi apa pun.
Sebagai seorang wartawan, saya merasa kasus ini membuka mata kita tentang betapa pentingnya reformasi total di lembaga peradilan. Jika mafia hukum dibiarkan berkeliaran tanpa hukuman setimpal, maka demokrasi hanya akan menjadi slogan kosong. Keadilan harus ditegakkan secara tegas, bahkan jika itu berarti memberikan sanksi maksimal kepada para pelaku korupsi.
Kami berharap bahwa tindakan tegas dari Kejagung dan MA dapat menjadi titik balik bagi pemulihan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan di Indonesia. Melalui good governance dan integritas tinggi, marwah peradilan negara ini dapat dipulihkan, sehingga rakyat benar-benar merasakan keadilan tanpa diskriminasi.