Pemerintah Indonesia menargetkan Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk menyerap sekitar 3 juta ton beras dari petani domestik pada tahun ini. Sampai April 2025, telah tercatat serapan sebesar 1,27 juta ton beras setara, dengan mayoritas masih dalam bentuk gabah. Saat ini, gudang Bulog menyimpan total 2,34 juta ton beras, sebagian besar merupakan sisa stok akhir tahun 2024 yang didominasi oleh impor. Dari jumlah tersebut, lebih dari separuh telah berusia antara 4 hingga 6 bulan, sementara ada juga yang telah melebihi satu tahun penyimpanan. Para ahli pertanian seperti Khudori dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) menekankan pentingnya distribusi cepat agar kualitas beras tetap terjaga dan menghindari kerugian ekonomi serta reputasi bagi Bulog.
Dalam situasi yang semakin kompleks, gudang Bulog di berbagai daerah mencatat jumlah beras yang signifikan, yaitu 2,34 juta ton per April 2025. Sebagian besar beras tersebut merupakan hasil produksi tahun lalu yang disimpan lebih dari enam bulan. Menurut pengamat pertanian Khudori, masa ideal penyimpanan beras adalah maksimal empat bulan karena risiko penurunan kualitas akan meningkat jika disimpan lebih lama. Selain itu, biaya perawatan juga bertambah seiring waktu, membebani operasional Bulog sebagai lembaga logistik nasional.
Selain itu, adanya temuan beras berkutu di beberapa gudang, seperti yang terjadi di Yogyakarta pada Maret 2025, menjadi perhatian serius. Situasi ini dapat merusak citra Bulog dan menimbulkan kekhawatiran publik terhadap sistem distribusi pangan nasional. Pemerintah awalnya merencanakan distribusi bantuan pangan sebanyak 960 ribu ton kepada 16 juta keluarga miskin pada Januari-Februari 2025, namun rencana ini ditunda karena melimpahnya produksi beras pada awal tahun. Namun, Khudori menyoroti bahwa pembandingan produksi tahun ini dengan tahun lalu kurang tepat, mengingat dampak fenomena El Nino pada tahun 2024 yang memengaruhi pola musim tanam dan panen.
Berdasarkan data BMKG, produksi beras pada tiga bulan pertama tahun 2025 sebenarnya lebih rendah dibandingkan periode yang sama pada tahun 2023. Oleh karena itu, klaim kelebihan produksi beras pada awal tahun 2025 tidak sepenuhnya akurat, terutama jika dilihat dari sudut pandang defisit konsumsi selama bulan paceklik.
Dengan demikian, tantangan utama saat ini adalah memastikan distribusi beras yang efisien dan tepat waktu untuk menjaga kualitas serta mendukung ketahanan pangan nasional.
Dari perspektif seorang jurnalis atau pembaca, informasi ini menunjukkan betapa pentingnya manajemen inventaris beras secara cermat. Pengelolaan stok harus dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti usia penyimpanan, kondisi cuaca, dan kebutuhan konsumsi masyarakat. Langkah-langkah preventif seperti peningkatan fasilitas penyimpanan modern serta percepatan distribusi beras ke pasar lokal dapat membantu meminimalkan risiko kerusakan dan memastikan bahwa semua warga negara memiliki akses ke pangan yang layak. Ini bukan hanya soal logistik, tetapi juga tentang tanggung jawab sosial dalam menjaga ketahanan pangan bangsa.