Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa kondisi fundamental ekonomi nasional tetap kokoh meskipun rupiah mengalami pelemahan terhadap dolar AS akibat faktor eksternal. Faktor utama yang memengaruhi pelemahan ini adalah kebijakan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Menurut BI, data makroekonomi seperti GDP, inflasi, current account, dan utang luar negeri menunjukkan performa yang baik dan stabil. Selain itu, perbandingan dengan negara-negara lain di kawasan juga menunjukkan bahwa kondisi Indonesia lebih kuat secara fundamental.
Pejabat BI menyatakan bahwa risiko krisis masih jauh dari kondisi saat ini dibandingkan periode krisis 1997-1998. Meskipun rupiah sempat mencapai level tertinggi sejak krisis 1998, namun langkah-langkah pencegahan telah dilakukan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan stabilitas dengan angka PDB yang tetap tumbuh pada rentang 5%. Selain itu, tekanan inflasi terjaga rendah di bawah 3%, serta defisit current account berada di level aman di bawah 0,5%. Data ini menunjukkan bahwa kondisi ekonomi domestik masih kuat dibandingkan negara-negara lain seperti India, Vietnam, Korea Selatan, Filipina, Thailand, dan Malaysia.
Solikin M. Juhro, Asisten Gubernur BI, menjelaskan bahwa meskipun beberapa negara memiliki pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, namun mereka juga menghadapi tantangan seperti inflasi yang lebih tinggi atau defisit current account yang signifikan. Sebagai contoh, Vietnam dan India memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, namun disertai oleh tingkat inflasi yang lebih besar. Di sisi lain, Indonesia berhasil menjaga indikator-indikator makroekonomi tetap dalam koridor aman. Angka fundamental seperti rasio utang luar negeri terhadap PDB yang relatif rendah dan rasio permodalan perbankan yang tinggi menjadi bukti kekuatan ekonomi nasional.
Meskipun rupiah mengalami pelemahan hingga mencapai level tertinggi sejak krisis 1998, Bank Indonesia yakin bahwa risiko krisis masih sangat kecil. Hal ini didukung oleh pengawasan yang lebih ketat terhadap fundamental ekonomi dibandingkan periode krisis 1997-1998. BI menegaskan perlunya terus memantau situasi agar tidak terjadi ketidakstabilan.
Sejarah menunjukkan bahwa krisis 1997-1998 terjadi karena kurangnya pengawasan terhadap stabilitas sistem keuangan dan manajemen utang luar negeri. Namun, saat ini kondisi sudah jauh berbeda. Indikator seperti capital adequacy ratio (CAR) perbankan yang tinggi dan non-performing loan (NPL) yang rendah memberikan keyakinan bahwa sistem keuangan nasional mampu menahan tekanan eksternal. Solikin juga menekankan pentingnya sikap waspada dan pengambilan keputusan yang tepat guna menjaga stabilitas ekonomi nasional di masa mendatang.