Pada hari Jumat (14/3/2025), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan signifikan di sesi perdagangan pertama. Pada pembukaan pasar, indeks turun 1,22%, tetapi pada akhir sesi perdagangan, penurunan mencapai 1,58%. Hal ini disebabkan oleh defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tercatat sebesar Rp31,2 triliun atau 0,13% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Hampir semua sektor berada di zona merah, dengan sektor teknologi yang anjlok paling dalam yaitu 7,34%. Saham DCI Indonesia (DCII) juga mengalami kerugian besar hingga 20%. Sebaliknya, hanya sektor energi yang masih tumbuh meskipun sangat kecil.
Pada hari Jumat di Jakarta, bursa saham Indonesia diliputi suasana cemas setelah IHSG ditutup dengan penurunan drastis di sesi perdagangan pertama. Kinerja IHSG membuka dengan pelemahan sebesar 1,22% atau 81 poin ke level 6.566,2, namun kondisi semakin memburuk menjelang akhir sesi, menyebabkan ambruknya indeks menjadi 1,58% ke posisi 6.542,71.
Transaksi selama sesi tersebut mencapai Rp4,12 triliun melibatkan lebih dari 7,7 miliar saham yang diperdagangkan sebanyak 641 ribu kali. Dari total saham yang diperdagangkan, hanya 191 saham yang menguat, sementara 380 lainnya melemah dan sisanya stagnan. Hanya satu sektor, yaitu energi, yang berhasil bertahan hijau dengan kenaikan tipis 0,18%, sedangkan sektor teknologi mengalami kerugian paling besar sebesar 7,34%.
Saham DCI Indonesia (DCII) menjadi salah satu penyebab utama penurunan IHSG hari itu dengan anjloknya harga saham sebesar 20%. Meskipun sebelumnya saham ini telah naik lebih dari 300% sejak awal tahun, rencana stock split yang diumumkan oleh Toto Sugiri ternyata tidak cukup untuk menopang performa saham tersebut. Selain itu, saham perbankan seperti BBCA juga memberikan kontribusi negatif dengan penurunan 1,67%.
Anjloknya IHSG juga dipicu oleh pengumuman defisit APBN sebesar Rp31,2 triliun atau 0,13% dari PDB per Februari 2025. Ini merupakan defisit pertama dalam empat tahun terakhir, dengan pendapatan negara hanya mencapai Rp316,9 triliun sementara belanja negara mencapai Rp348,1 triliun. Keadaan ini menunjukkan tingginya ketergantungan Indonesia terhadap fluktuasi harga komoditas global.
Dari perspektif seorang jurnalis, laporan ini memberikan pelajaran penting tentang volatilitas pasar saham dan bagaimana kebijakan fiskal pemerintah dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi secara keseluruhan. Investor perlu memperhatikan risiko-risiko makroekonomi serta tren industri tertentu saat membuat keputusan investasi. Di sisi lain, pemerintah harus mempertimbangkan strategi diversifikasi pendapatan agar tidak bergantung sepenuhnya pada harga komoditas yang seringkali sulit diprediksi.