Pemerintahan mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, telah menerapkan kebijakan tarif impor pada lebih dari 180 negara sebagai bagian dari strategi proteksionisme ekonominya. Kebijakan ini memengaruhi banyak negara, termasuk Indonesia. Namun, beberapa negara mendapatkan pengecualian, bahkan yang dikenal sebagai musuh AS seperti Rusia dan Korea Utara. Alasan utama pengecualian ini adalah karena volume perdagangan dengan kedua negara tersebut relatif kecil serta adanya sanksi berat yang sudah diberlakukan sebelumnya.
Dalam era pemerintahan Trump, kebijakan tarif impor menjadi sorotan dunia. Meskipun ratusan negara diwajibkan membayar tarif tambahan, ada dua nama besar yang luput dari daftar tersebut: Rusia dan Korea Utara. Menurut Menteri Keuangan AS saat itu, Scott Bessent, Rusia tidak dimasukkan dalam daftar karena perdagangannya dengan AS sangat terbatas. Data menunjukkan bahwa perdagangan barang antara Rusia dan AS hanya mencapai $3,5 miliar tahun lalu, jauh menurun dibandingkan angka $36 miliar sebelum invasi Ukraina. Selain itu, Rusia telah menghadapi sanksi berat atas tindakannya di Ukraina, sehingga tarif tambahan dianggap tidak perlu.
Sementara itu, Korea Utara juga tidak masuk dalam daftar tarif baru. Seperti halnya Rusia, negara yang dipimpin Kim Jong Un telah lama menghadapi sanksi ekonomi ketat dari AS. Seorang pejabat Gedung Putih menjelaskan bahwa tarif tinggi dan sanksi yang sudah diberlakukan membuat perdagangan bermakna dengan Korea Utara hampir mustahil. Oleh karena itu, pemberlakuan tarif tambahan tidak memberikan dampak signifikan.
Dari perspektif Gedung Putih, langkah ini diambil untuk menghindari kebijakan redundan yang tidak efektif secara ekonomi. Sekretaris Pers Gedung Putih, Karoline Leavitt, menyatakan bahwa pengecualian ini tidak berarti melemahkan sikap AS terhadap kedua negara tersebut, melainkan mencerminkan realitas perdagangan global yang kompleks.
Sebagai jurnalis yang meliput isu ini, kita bisa belajar betapa rumitnya dinamika hubungan internasional. Kebijakan ekonomi bukan hanya soal angka atau keuntungan, tetapi juga mencakup aspek geopolitik yang luas. Pengecualian Rusia dan Korea Utara dari tarif impor menunjukkan bahwa keputusan politik sering kali didasarkan pada pertimbangan yang lebih besar daripada sekadar nilai perdagangan. Hal ini juga menunjukkan pentingnya memahami konteks sejarah dan hubungan bilateral dalam pengambilan keputusan strategis.