Pasar
Analisis Pasar Modal dan Fenomena Musiman dalam Investasi
2025-05-02

Fenomena "Sell in May and Go Away" telah lama menjadi topik pembahasan di dunia pasar modal. Istilah ini mengacu pada kecenderungan investor untuk melepas aset mereka selama periode Mei hingga Oktober, dengan keyakinan bahwa kinerja pasar akan lebih lemah dibandingkan enam bulan sebelumnya. Meskipun istilah tersebut berasal dari Inggris, pengaruhnya dapat dirasakan secara global, termasuk di Amerika Serikat dan Indonesia. Namun, penelitian modern menunjukkan bahwa pola musiman ini tidak lagi relevan seperti dulu.

Pada artikel ini, kita akan membahas bagaimana teori ini berkembang di berbagai pasar serta validitasnya di era modern. Selain itu, fokus juga diberikan pada kondisi pasar saham Indonesia dan faktor ekonomi yang memengaruhi pergerakannya.

Sejarah dan Pengaruh Teori "Sell in May and Go Away"

Istilah ini pertama kali muncul di London, Inggris, ketika kalangan elit sosial berlibur ke pedesaan selama musim panas. Pada masa itu, St. Leger’s Day menjadi acuan waktu untuk kembali ke pasar setelah liburan. Setelah Perang Dunia II, konsep ini diadopsi di Amerika Serikat, di mana data historis menunjukkan bahwa indeks saham utama cenderung memberikan return rendah selama Mei hingga Oktober dibandingkan periode November hingga April.

Kajian mendalam terhadap Dow Jones Industrial Average (DJIA) menunjukkan bahwa rata-rata return pada periode Mei hingga Oktober hanya mencapai 0,3%, sementara periode November hingga April mencatatkan rerata 7,5%. Penyebab utamanya adalah turunnya volume perdagangan di musim panas dan arus dana investasi yang meningkat di musim dingin. Namun, penelitian baru oleh Bank of America Merrill Lynch menunjukkan bahwa Juni hingga Agustus justru merupakan periode kedua terbaik dalam sejarah pasar saham AS sejak 1928. Statistik modern menunjukkan bahwa pola musiman ini tidak lagi relevan.

Dampak Teori di Pasar Saham Indonesia

Di Indonesia, teori "Sell in May and Go Away" memiliki tingkat akurasi yang relatif rendah. Berdasarkan analisis PT Panin Asset Management, teori ini hanya benar dalam 8 dari 21 tahun pengamatan, atau sekitar 38%. Sebaliknya, teori "Buy in November" ternyata lebih akurat ketika diuji di pasar saham domestik. Data historis IHSG selama 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa meskipun Mei sering kali mengalami pelemahan, tren Mei hingga Oktober justru cenderung positif.

Sentimen negatif pada Mei 2025 diprediksi oleh CNBC Indonesia Research karena adanya potensi kabar buruk dari ekonomi Amerika Serikat. Lonjakan impor akibat perang dagang yang dilancarkan oleh Presiden Donald Trump menyebabkan kontraksi Produk Domestik Bruto (PDB) AS sebesar 0,3% pada kuartal pertama 2025. Perlambatan belanja konsumen dan pengeluaran federal juga berkontribusi pada angka PDB yang lemah. Sementara itu, The Federal Reserve harus menyeimbangkan antara kemungkinan penurunan suku bunga dan inflasi yang tetap stabil.

more stories
See more