Perusahaan tekstil bersejarah yang telah berdiri lebih dari setengah abad, PT Sri Rejeki Isman Tbk., kini tengah menghadapi situasi sulit. Meskipun pernah mencapai puncak kejayaannya, Sritex kini harus menelan pil pahit dengan pengumuman pailit yang memukul keras dunia bisnis Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan ini telah mengalami berbagai tantangan, termasuk henti perdagangan saham dan ancaman delisting.
Situasi finansial Sritex semakin memburuk akibat beban utang yang melampaui asetnya. Kondisi ini mendorong perusahaan ke ambang kebangkrutan, di mana jumlah liabilitas melebihi ekuitas. Data terbaru menunjukkan bahwa total kewajiban perusahaan mencapai angka fantastis, sementara defisit modal mencerminkan ketidakmampuan untuk membayar hutang-hutangnya. Utang bank menjadi salah satu penyumbang terbesar dari beban keuangan ini, melibatkan sejumlah lembaga keuangan dalam tagihan jangka panjang.
Pendiri Sritex, Haji Muhammad Lukminto, memulai petualangannya di dunia tekstil sebagai pedagang kecil di Solo pada usia muda. Berbekal semangat wirausaha, dia berhasil membangun kerajaan bisnis yang kemudian dikenal sebagai Sritex. Seiring waktu, perusahaan ini berkembang pesat, didorong oleh dukungan pemerintah dan posisi strategis di pasar garmen nasional maupun internasional. Namun, sejarah gemilang tersebut kini tercoreng oleh krisis finansial yang mendalam. Pengalaman ini mengingatkan kita akan pentingnya manajemen keuangan yang baik dan adaptasi terhadap perubahan kondisi pasar demi kelangsungan sebuah perusahaan.
Berdirinya Sritex bukan hanya merupakan simbol kesuksesan industri tekstil Indonesia, tetapi juga cerminan dedikasi dan kerja keras para pendirinya. Meski menghadapi masa suram, kisah Sritex mengajarkan nilai-nilai penting seperti ketahanan, inovasi, dan keberanian menghadapi tantangan. Harapannya, pelajaran dari kisah ini dapat menjadi inspirasi bagi generasi penerus untuk membangun bisnis yang kuat dan berkelanjutan.