Dalam beberapa hari mendatang, umat Islam akan merayakan Idulfitri sebagai penanda akhir bulan Ramadan. Perayaan ini bukan hanya simbol kemenangan atas ibadah selama sebulan penuh, tetapi juga momentum untuk memperbaharui hubungan sosial, memperkuat persaudaraan, serta meneguhkan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Lebih lanjut, tahun ini membawa momen istimewa dengan bertepatan dekatnya waktu perayaan Idulfitri dengan Hari Raya Nyepi dari umat Hindu. Meskipun kedua perayaan ini memiliki ekspresi yang sangat berbeda—satu penuh keramaian dan yang lainnya dalam kesunyian—keduanya sama-sama mengandung nilai spiritualitas tinggi.
Di tengah hingar-bingar malam takbiran dan kebersamaan antar keluarga pada Idulfitri, ada sisi lain yang tak boleh dilupakan: Hari Raya Nyepi bagi umat Hindu. Dalam perayaan ini, mereka menjalani Catur Brata Penyepian yang melibatkan pengendalian diri terhadap aktivitas duniawi seperti tidak menyalakan api, bekerja, bepergian, atau bahkan menikmati hiburan. Di saat bersamaan, umat Islam menyambut hari raya mereka dengan gemuruh doa dan kebahagiaan.
Perbedaan ini menjadi ujian sekaligus peluang bagi masyarakat untuk membangun harmoni. Kedekatan waktu kedua perayaan ini dapat menjadi cerminan bagaimana toleransi dan pengertian saling memperkuat keberagaman. Umat Islam dapat merayakan tanpa mengganggu kesunyian umat Hindu, sedangkan umat Hindu pun dapat memahami semangat kegembiraan Idulfitri sebagai bagian dari tradisi yang telah lama dianut.
Bahkan dalam sejarah, Rasulullah Muhammad SAW telah menunjukkan contoh nyata tentang pentingnya hidup berdampingan dalam keberagaman melalui Piagam Madinah. Dokumen ini menjamin hak-hak setiap kelompok dan menegaskan pentingnya kerukunan sosial. Dengan demikian, spirit harmoni tersebut harus terus kita wariskan dalam konteks modern.
Momen ini memberikan banyak pelajaran bagi kita semua. Terlepas dari perbedaan cara ekspresi keagamaan, baik Idulfitri maupun Nyepi mengajarkan pentingnya introspeksi, pengendalian diri, dan pemeliharaan hubungan sosial yang harmonis. Teori Harmoni Sosial oleh Emile Durkheim relevan dalam situasi ini, di mana ia menekankan bahwa kesadaran kolektif dan penghormatan terhadap norma-norma sosial adalah kunci untuk menjaga keberagaman secara damai.
Berkaca dari peristiwa ini, kita belajar bahwa perbedaan tidak harus menjadi sumber konflik, melainkan bisa menjadi kekuatan untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif dan solidaritas organik. Dengan sikap saling pengertian dan komunikasi yang baik, kita dapat menciptakan ruang sosial yang benar-benar damai dan sejahtera bagi semua orang.