Dengan adopsi standar internasional dan fokus pada pemerataan sumber daya manusia di sektor kesehatan, Indonesia berupaya menutup kesenjangan antara teori dan praktik serta memastikan bahwa semua warga negara dapat menikmati layanan kesehatan yang berkualitas tinggi.
Selama bertahun-tahun, calon dokter spesialis di Indonesia harus melewati tahapan yang sangat memberatkan baik secara finansial maupun profesional. Tidak seperti negara-negara maju yang menggabungkan pembelajaran dengan pekerjaan nyata, sistem lama di Tanah Air justru menuntut mereka untuk mengorbankan penghasilan demi mengejar gelar spesialisasi.
Contohnya, biaya kuliah hingga ratusan juta rupiah menjadi beban utama bagi para peserta didik. Selain itu, larangan bekerja selama masa pendidikan membuat mereka harus bergantung pada tabungan atau bantuan keluarga, yang tentunya tidak realistis bagi banyak orang. Akibatnya, produksi dokter spesialis menjadi stagnan, bahkan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Beberapa negara seperti Inggris dan Amerika Serikat telah membuktikan bahwa integrasi langsung antara praktik kerja dan pendidikan bisa menghasilkan dokter spesialis yang lebih siap menghadapi dunia nyata. Dalam sistem tersebut, para pelajar tetap menerima gaji reguler selama menjalani pelatihan intensif di fasilitas medis modern.
Model ini tidak hanya meningkatkan motivasi belajar individu tetapi juga memastikan bahwa ilmu yang diperoleh relevan dengan kebutuhan pasar. Sebagai contoh, di Inggris, meskipun jumlah populasi hanya seperlima dari Indonesia, mereka berhasil mencetak 2.700 dokter spesialis per tahun—lebih dari tiga kali lipat dari capaian Indonesia.
Sebagai bagian dari reformasi besar-besaran, pemerintah Indonesia memperkenalkan konsep RSPP yang bertujuan merevolusi cara pendidikan dokter spesialis dilakukan. Melalui kerjasama dengan lembaga akreditasi internasional ACGME-I, program ini memastikan bahwa standar pendidikan setara dengan yang ada di negara maju.
Salah satu fitur unggulan dari RSPP adalah pemberian status pegawai kontrak kepada peserta didik. Hal ini memberikan mereka jaminan finansial selama proses belajar tanpa harus khawatir tentang pemutusan hubungan kerja. Selain itu, pengawasan ketat terhadap jam kerja maksimal 80 jam per minggu menjaga keseimbangan antara produktivitas dan kesejahteraan peserta.
Program baru ini juga menekankan pentingnya pemerataan distribusi dokter spesialis di seluruh wilayah Indonesia. Dengan merekrut putra-putri daerah sebagai peserta didik, diharapkan akan ada komitmen kuat untuk kembali melayani masyarakat di tempat asal mereka setelah lulus.
Lebih lanjut, transparansi seleksi dan evaluasi berbasis digital menjadi elemen kunci dalam mencegah praktik diskriminatif seperti senioritas berlebihan atau bahkan kekerasan seksual. Ini menciptakan lingkungan belajar yang aman dan inklusif bagi semua peserta didik, terlepas dari latar belakang sosial ekonomi mereka.