Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tengah mempertimbangkan revisi beberapa undang-undang terkait pemerintahan daerah, termasuk UU No 28/2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), UU No 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), dan UU Pemilu. Langkah ini bertujuan agar program-program strategis pemerintah pusat dapat lebih selaras dengan visi kepala daerah yang terpilih melalui pemilu. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah adanya kesenjangan waktu antara pelaksanaan pemilihan presiden dan pilkada serentak, yang menghambat implementasi program nasional secara efektif.
Selain itu, masalah biaya tinggi serta ketidakseragaman pengukuhan kepala daerah menjadi perhatian penting dalam kajian revisi ini. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) juga menunjukkan kebutuhan akan pemilu ulang di beberapa wilayah, yang memperpanjang proses transisi kepemimpinan daerah.
Revisi undang-undang tersebut dinilai penting untuk memastikan sinkronisasi program antara pemerintah pusat dan daerah. Saat ini, ada jeda waktu yang signifikan antara pelaksanaan pemilu presiden dan pilkada serentak tahun 2024, yang berdampak pada perlambatan implementasi program nasional. Selain itu, anggaran negara maupun daerah yang ditetapkan sebelumnya sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan setelah kepala daerah baru dilantik.
Dekan Fakultas Manajemen Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Halilul Khairi, menjelaskan bahwa pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024 masih membawa sejumlah tantangan. Biaya tinggi dalam penyelenggaraan pilkada serta putusan MK yang memerlukan pemilu ulang di beberapa wilayah menyebabkan ketidaksesuaian waktu pelantikan kepala daerah. Akibatnya, visi dan misi presiden terpilih tidak selalu sejalan dengan rencana kerja para kepala daerah. Selain itu, penetapan anggaran APBN dan APBD yang biasanya dilakukan satu tahun sebelumnya menjadi kendala tersendiri bagi pemerintah daerah untuk mewujudkan program prioritas nasional.
Salah satu ide yang muncul dalam kajian revisi UU Pemda adalah konsep pilkada tidak langsung. Meskipun demikian, ide ini memerlukan analisis mendalam mengenai manfaat dan risiko yang bisa ditimbulkan. Menurut Halilul Khairi, pembahasan model pilkada tidak langsung harus dipertimbangkan secara komprehensif agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap sistem demokrasi di Indonesia.
Ide pilkada tidak langsung diusulkan sebagai solusi untuk mengurangi biaya penyelenggaraan pilkada serta mempercepat proses pelantikan kepala daerah. Namun, keputusan ini harus didasarkan pada studi mendalam mengenai efektivitas dan akuntabilitas sistem tersebut. Selain itu, opini publik serta pengaruh terhadap partisipasi politik masyarakat perlu diperhitungkan dalam pembahasan ini. Revisi undang-undang yang mencakup pilkada dan pemilu harus dirancang agar tetap memprioritaskan prinsip keadilan dan representasi masyarakat dalam sistem pemerintahan.