Perspektif tentang konsumsi daging anjing di dunia memunculkan berbagai pandangan yang mencerminkan perbedaan budaya. Di beberapa wilayah Asia, daging anjing telah menjadi bagian dari tradisi makanan selama berabad-abad. Namun, tren ini mulai mengundang kritik dari berbagai pihak yang menyoroti aspek etika dan kesehatan publik. Benua Asia, terutama negara-negara seperti China dan Vietnam, memiliki tingkat konsumsi tertinggi di dunia.
Kebiasaan ini tidak hanya dipertanyakan dari sudut pandang moral tetapi juga dari risiko kesehatan yang ditimbulkannya. Penyakit seperti trichinellosis, kolera, dan rabies dapat menyebar melalui praktik perdagangan dan penyembelihan yang kurang higienis. Di Tiongkok, meskipun tradisi konsumsi daging anjing sudah ada sejak lama, langkah-langkah baru telah diambil untuk melarangnya di beberapa wilayah seperti Shenzhen dan Zhuhai. Hal ini mencerminkan upaya modernisasi dalam peninjauan ulang nilai-nilai sosial dan hukum terhadap perlindungan hewan.
Pada saat yang sama, Indonesia juga termasuk salah satu negara dengan jumlah konsumen daging anjing yang signifikan. Meski jumlahnya relatif kecil dibandingkan populasi keseluruhan, praktik ini tetap menimbulkan kontroversi. Ancaman penyakit rabies serta kondisi sanitasi yang buruk di pasar gelap menjadi alasan utama untuk mempertimbangkan larangan serupa. Melalui kesadaran global akan perlunya perlindungan hewan dan kesehatan masyarakat, semakin banyak negara yang mulai merevisi aturan mereka, menciptakan harmoni antara budaya lokal dan standar internasional.
Masa depan hubungan manusia dengan hewan peliharaan harus didasarkan pada prinsip penghormatan terhadap hak-hak dasar makhluk hidup. Memahami pentingnya kesejahteraan hewan bukan hanya soal mengubah pola konsumsi, tetapi juga membuka pintu bagi generasi mendatang untuk hidup lebih bertanggung jawab dan berempati. Ini adalah langkah maju menuju dunia yang lebih adil dan berkelanjutan bagi semua makhluk hidup.