Dalam dunia keuangan global yang penuh ketidakpastian, dominasi dolar Amerika Serikat (AS) sebagai aset aman mulai tergoyahkan. Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan bahwa yen Jepang dan euro Eropa kini menjadi primadona baru bagi para pelaku pasar. Penguatan yen mencapai 9,3% dan euro sebesar 9,1% terhadap dolar AS, sementara nilai tukar rupiah melemah hingga 4,5%. Ketidakpastian ekonomi global, termasuk perang dagang yang dipicu oleh Presiden AS Donald Trump, berdampak signifikan pada indeks dolar yang telah menurun drastis sejak awal masa jabatan Trump.
Dalam suasana politik dan ekonomi yang canggih, mata uang dolar AS menghadapi tantangan besar sebagai safe haven tradisional. Di tengah konflik perdagangan internasional yang dimulai oleh pemerintahan Trump melalui tarif tinggi kepada mitra dagang utama AS, investor mulai mempertimbangkan yen Jepang dan euro sebagai alternatif yang lebih stabil. Menurut pengamatan Sri Mulyani di Jakarta pada pertengahan bulan Mei, yen telah menguat secara signifikan selama periode April hingga 28 April 2025, dengan peningkatan 9,3% dibandingkan dolar AS.
Sementara itu, mata uang China juga menunjukkan daya tahan tertentu dengan penguatan sebesar 0,1% year to date. Namun, hubungan tegang antara Presiden Trump dan Gubernur The Fed, Jerome Powell, semakin memperburuk situasi pasar keuangan global. Powell dijuluki "Mr. Too Late" oleh Trump karena keengganan untuk menurunkan suku bunga, sehingga memperpanjang ketidakpastian ekonomi.
Data dari Refinitiv menunjukkan bahwa indeks dolar anjlok 9% sejak pelantikan ulang Trump pada Januari 2025 hingga akhir April. Penurunan ini bahkan mencapai rekor terbesar sejak setidaknya 1973. Kebijakan proteksionisme perdagangan Trump mendorong arus modal keluar dari AS menuju negara-negara lain, meningkatkan permintaan terhadap yen, euro, dan emas sebagai bentuk perlindungan nilai.
Pada bulan April, spekulan pasar, termasuk hedge fund dan manajer aset, meningkatkan posisi short terhadap dolar hingga $13,9 miliar, level tertinggi sejak September lalu. Perusahaan seperti UBS Group AG dan Deutsche Bank AG memperingatkan adanya tren pelemahan struktural dolar dalam beberapa tahun mendatang.
Berkaca pada data tersebut, investasi global tampaknya sedang mengalami transformasi fundamental dalam pemilihan instrumen safe haven.
Dari perspektif seorang jurnalis, fenomena ini menunjukkan pentingnya diversifikasi portofolio bagi para pelaku pasar. Ketidakpastian geopolitik dan kebijakan moneter yang tidak konsisten dapat merubah paradigma pasar secara mendadak. Oleh karena itu, investor harus tetap waspada dan fleksibel dalam menghadapi dinamika pasar global yang semakin kompleks. Selain itu, kebijakan pemerintah dan bank sentral harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak memperburuk volatilitas pasar.