Seorang tokoh intelektual abad ke-20 dari Arab Saudi, Abdullah Al-Qasemi, telah menjadi simbol perubahan radikal dalam dunia pemikiran Timur Tengah. Awalnya dikenal sebagai seorang pelajar agama yang taat, ia berkembang menjadi salah satu kritikus terbesar terhadap dogma agama di dunia Islam. Kelahirannya di Buraydah pada tahun 1907 membawa pengaruh besar dari lingkungan keluarga yang religius. Namun, karier akademisnya di Universitas Al-Azhar dan karya-karyanya yang kontroversial akhirnya memperlihatkan transformasi drastis dari keyakinan agamanya menuju ateisme. Artikel ini menjelajahi latar belakang hidupnya, perubahan pemikirannya, serta dampak dari penolakan masyarakat terhadap pandangannya.
Pada masa kecilnya, Abdullah Al-Qasemi tumbuh di bawah bayang-bayang ajaran Islam yang ketat, berkat pendidikan langsung dari ayahnya. Sejak usia dini, dia didorong untuk mempelajari hadis, hukum Islam, serta sastra Arab dengan intensitas tinggi. Kecerdasannya mengantarkannya ke Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, di mana ia mulai dikenal sebagai seorang intelektual muda yang menawarkan perspektif baru tentang perkembangan bangsa Arab. Ia mempromosikan gagasan rasionalisme sebagai cara untuk melampaui batasan mitos-mitos tradisional yang mengikat pikiran kolektif masyarakat.
Sementara itu, Qasemi juga mendukung gerakan Salafi, sebuah aliran yang menekankan imitasi praktik-praktik awal umat Islam. Pemahaman teologisnya yang konservatif ini sempat membuatnya dihormati di kalangan tertentu. Namun, sikap kritisnya terhadap institusi agama tradisional di Al-Azhar menyebabkan pengusirannya pada tahun 1931. Ini menjadi titik balik dalam hidupnya, di mana ia mulai mengeksplorasi ideologi di luar ruang lingkup agama.
Beralih dari filsafat agama ke ateisme, Qasemi kemudian mempublikasikan karya-karya yang mencoba meninjau ulang dasar-dasar moralitas dan spiritualitas manusia. Salah satu buku paling kontroversialnya, The Lie to See God Beautiful, menimbulkan reaksi keras di kalangan masyarakat Muslim. Buku ini dianggap sebagai serangan frontal terhadap prinsip-prinsip agama yang selama ini dipegang teguh oleh banyak orang. Akibatnya, ia menjadi sasaran ancaman dan pembatasan, termasuk pengusiran resmi oleh pemerintah Mesir pada tahun 1954.
Kehidupan penuh tantangan ini akhirnya berakhir pada tanggal 9 Januari 1996, saat Qasemi meninggal karena kanker. Warisan pemikirannya tetap memicu diskusi panjang tentang konflik antara agama dan rasionalisme di dunia modern. Meskipun banyak negara Timur Tengah melarang karyanya, ide-ide tersebut tetap memberikan kontribusi signifikan terhadap perdebatan global tentang keyakinan dan identitas budaya.
Pandangan Abdullah Al-Qasemi mengenai hubungan antara agama dan rasionalisme tidak hanya mencerminkan perjalanan pribadinya, tetapi juga menyoroti dinamika sosial-politik di dunia Arab pada abad ke-20. Dari seorang anak yang tunduk pada nilai-nilai ortodoks hingga menjadi pelopor pemikiran sekuler, jalan hidupnya adalah cerminan kompleksitas transisi ideologis yang dialami oleh banyak masyarakat modern. Warisan kontroversialnya akan terus menggugah refleksi tentang bagaimana kita memahami peran agama dalam era globalisasi.