Tren perkawinan persahabatan atau dikenal sebagai "friendship marriage" semakin berkembang di kalangan anak muda di China. Melalui praktik ini, pasangan memutuskan untuk menikah bukan karena cinta ataupun keintiman fisik, melainkan demi mencari solusi terhadap tekanan sosial dan keluarga yang kerap mereka rasakan. Dalam hubungan ini, keduanya tinggal bersama, memiliki status hukum sebagai suami istri, namun tetap menjaga batas-batas pribadi tanpa melibatkan hubungan seksual maupun rencana memiliki keturunan. Meskipun tren ini juga ada di negara lain seperti Jepang, di China, perkawinan ini lebih sering dilakukan secara diam-diam.
Dilansir dari pengakuan Meilan, seorang wanita asal Chongqing, ia telah menjalani perkawinan persahabatan dengan temannya selama empat tahun. Pasangan tersebut tidak mengadakan perayaan pernikahan tradisional dan sepakat untuk tidak memiliki anak. Kehidupan mereka berlangsung dalam harmoni sederhana, dengan kedua belah pihak bekerja mandiri serta menyimpan bagian dari pendapatannya dalam rekening bersama untuk mendanai liburan bersama. Mereka juga memilih tidur di kamar terpisah dan menjaga ruang pribadi masing-masing.
Konsultan keluarga Pan Lian dari provinsi Hubei menyebut bahwa perkawinan persahabatan dapat membantu individu menjaga kemandirian, namun juga menegaskan bahwa hubungan ini bisa menjadi tidak stabil. Menurutnya, model perkawinan ini hanya merupakan solusi sementara bagi mereka yang ingin melarikan diri dari ekspektasi masyarakat. Seiring waktu, kemungkinan besar tren ini akan meredup seiring dengan peningkatan akses pada tunjangan sosial dan fasilitas perumahan bagi kaum lajang.
Meski kontroversial, perkawinan persahabatan memberikan alternatif bagi individu yang ingin hidup bebas dari tekanan sosial. Namun, tantangan utamanya adalah menjaga stabilitas hubungan saat dinamika kehidupan berubah. Praktik ini menggambarkan betapa kompleksnya peran institusi perkawinan di tengah transformasi sosial modern.