Pada era ketidakpastian ekonomi global yang dipicu oleh perang dagang, para pelaku pasar keuangan mulai menggeser preferensi mereka dari dolar AS sebagai aset safe haven. Sebaliknya, yen Jepang dan euro Eropa menjadi primadona baru bagi investor. Ketegangan politik dan ekonomi di Amerika Serikat, termasuk perselisihan antara Presiden Donald Trump dengan Gubernur The Fed, Jerome Powell, semakin memperlemah posisi dolar AS. Dalam perkembangan terbaru, indeks dolar AS mencatat penurunan signifikan hingga 9% sejak awal masa jabatan Trump II.
Dengan pergeseran ini, mata uang seperti euro dan yen menunjukkan penguatan signifikan dibandingkan dolar AS. Selain itu, faktor lain seperti tarif dagang resiprokal yang diberlakukan oleh Amerika Serikat mendorong aliran modal keluar dari negara tersebut, sehingga memberi tekanan lebih lanjut pada nilai tukar dolar AS. Proyeksi pelemahan dolar juga didukung oleh analis dari berbagai lembaga keuangan besar seperti UBS Group AG dan Deutsche Bank AG.
Ketidakpastian ekonomi global telah mengubah persepsi pasar tentang aset safe haven. Sebelumnya, dolar AS selalu menjadi andalan dalam kondisi krisis. Namun, tren baru menunjukkan bahwa yen Jepang dan euro Eropa kini lebih diminati oleh investor. Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, mencatat bahwa yen telah menguat 9,3% dan euro 9,1% terhadap dolar AS dalam periode tertentu. Sementara itu, rupiah melemah 4,5%, dan dolar AS sendiri turun 8,5%.
Pergeseran ini disebabkan oleh beberapa faktor utama. Pertama, sumber ketidakpastian pasar saat ini berasal langsung dari Amerika Serikat, terutama karena kebijakan proteksionisme perdagangan yang dicanangkan oleh Presiden Donald Trump. Kedua, ada konflik internal antara Trump dan The Federal Reserve (The Fed) terkait kebijakan suku bunga. Perselisihan ini menciptakan gejolak tambahan di pasar keuangan global. Akibatnya, dolar AS tidak lagi dianggap sebagai tempat penyimpanan nilai yang aman seperti sebelumnya. Investor mulai beralih ke yen Jepang dan euro Eropa sebagai alternatif yang lebih stabil.
Sejak awal masa jabatan kedua Donald Trump, indeks dolar AS telah mencatat penurunan yang signifikan. Data dari Refinitiv menunjukkan bahwa indeks ini telah turun 9% sejak pelantikan Trump pada Januari 2025. Penurunan ini bahkan menjadikan dolar AS sebagai salah satu mata uang dengan performa terburuk dalam sejarah kepemimpinan presiden AS. Selama bulan April, indeks dolar anjlok lebih dari 4,5%, yang merupakan penurunan terbesar untuk periode akhir bulan sejak tahun 1973.
Penyebab utama pelemahan ini adalah kombinasi dari kebijakan perdagangan proteksionis Trump dan ketidakpastian yang ditimbulkan oleh hubungan antara eksekutif AS dengan bank sentralnya. Ancaman Trump untuk memecat Gubernur The Fed, Jerome Powell, menambah kekhawatiran pasar atas independensi bank sentral AS. Selain itu, kebijakan tarif dagang resiprokal yang diterapkan Amerika Serikat mendorong investor untuk mencari peluang investasi di luar negeri, yang pada gilirannya melemahkan dolar AS secara signifikan. Para analis dari UBS Group AG dan Deutsche Bank AG memproyeksikan bahwa pelemahan dolar ini dapat berlanjut dalam jangka panjang, dengan potensi penurunan lebih lanjut terhadap euro dan yen. Trader spekulatif juga meningkatkan posisi short terhadap dolar AS, mencapai $13,9 miliar pada bulan April, yang merupakan level tertinggi sejak September lalu.