Dalam konteks global yang penuh tantangan, langkah Bank Indonesia untuk menahan suku bunga acuan sebesar 5,75% menjadi salah satu strategi utama dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi. Meskipun keputusan ini terlihat konservatif, ada harapan kuat bahwa penyesuaian suku bunga akan dilakukan sesuai dengan perkembangan kondisi domestik dan internasional. Hal ini mencerminkan komitmen BI dalam menjaga stabilitas makroekonomi sambil tetap mendukung pemulihan sektor riil.
Kebijakan moneter yang diterapkan oleh Bank Indonesia bukan hanya sekadar pengendalian suku bunga, tetapi juga melibatkan aspek-aspek lain seperti pengelolaan likuiditas perbankan dan stabilitas nilai tukar. Dalam RDG terbaru, BI menegaskan bahwa keputusan untuk menahan suku bunga acuan didorong oleh target inflasi yang ditetapkan sebesar 1,5-3,5% untuk periode 2025-2026. Target ini dianggap realistis mengingat tren inflasi yang cenderung stabil selama beberapa bulan terakhir.
Sebagai contoh, data statistik menunjukkan bahwa inflasi inti di awal tahun 2025 berada di angka 2,8%, jauh lebih rendah dibandingkan periode yang sama pada tahun-tahun sebelumnya. Faktor ini memberikan ruang bagi BI untuk mempertimbangkan penurunan suku bunga tanpa khawatir terhadap eskalasi tekanan harga. Selain itu, kondisi likuiditas perbankan yang relatif longgar juga memungkinkan pelonggaran kebijakan lebih lanjut.
Sector riil menjadi salah satu penerima manfaat langsung dari penyesuaian suku bunga oleh Bank Indonesia. Dengan potensi penurunan suku bunga acuan, biaya pinjaman bagi konsumen dan pelaku usaha dapat menurun secara signifikan. Misalnya, sektor properti dan otomotif yang sangat bergantung pada ketersediaan kredit murah diprediksi akan mengalami rebound permintaan jika suku bunga turun lebih jauh.
Berdasarkan survei industri, sekitar 60% perusahaan di sektor manufaktur telah melaporkan peningkatan aktivitas produksi akibat akses modal yang lebih mudah. Fenomena ini menunjukkan bahwa kebijakan moneter yang responsif memiliki dampak positif langsung pada produktivitas nasional. Lebih lanjut, pengaruhnya juga dirasakan oleh UMKM yang merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia.
Walau demikian, implementasi penurunan suku bunga tidak luput dari risiko, terutama terkait dengan fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Sejak awal tahun 2025, rupiah sempat melemah hingga mencapai level Rp16.800 per dolar AS. Pelemahan ini disebabkan oleh tekanan eksternal seperti kenaikan suku bunga di negara maju dan volatilitas pasar keuangan global.
Untuk mengatasi tantangan ini, Bank Indonesia harus melakukan koordinasi yang baik dengan pemerintah dalam mengelola neraca pembayaran serta meningkatkan daya saing ekspor nasional. Salah satu strategi yang dapat diterapkan adalah dengan memperkuat posisi cadangan devisa agar mampu meredam gejolak pasar valuta asing. Selain itu, upaya diversifikasi mitra dagang juga menjadi langkah penting dalam menjaga keseimbangan ekonomi.