DPR menyerukan kepada pemerintah agar memanfaatkan proyeksi terbaru dari IMF sebagai landasan untuk memperbaiki kondisi ekonomi nasional. Dalam laporan World Economic Outlook edisi April 2025, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 4,7% pada periode 2025-2026. Angka ini merupakan revisi turun dari perkiraan sebelumnya di WEF edisi Januari 2025 yang mencapai 5,1%. Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, menekankan pentingnya analisis faktor-faktor penyebab perlambatan ini untuk mencegah menyimpangnya target pertumbuhan 8% pada tahun 2029.
Di sisi lain, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Luky Alfirman, menjelaskan bahwa pelemahan proyeksi bukan hanya dialami oleh Indonesia tetapi juga negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan China. Pelemahan ini dipengaruhi oleh tekanan perdagangan global dan perubahan dinamis di sektor keuangan serta riil.
Mukhamad Misbakhun menyoroti beberapa program prioritas yang telah dirancang oleh pemerintah sebagai alat pemacu pertumbuhan ekonomi. Program-program tersebut meliputi inisiatif makan bergizi gratis (MBG), hilirisasi di sektor Sumber Daya Alam (SDA), dan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara. Menurut Misbakhun, jika dikelola dengan baik, program MBG yang mendapat alokasi anggaran Rp 171 triliun dapat memberikan dorongan signifikan terhadap perekonomian nasional.
Program hilirisasi menjadi salah satu kunci percepatan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Misbakhun berpendapat bahwa pengembangan industri melalui dukungan Danantara tidak hanya terbatas pada sektor pertambangan, tetapi harus diperluas hingga mencakup pertanian, pangan, dan perikanan. Dengan pendekatan yang lebih komprehensif ini, ancaman perlambatan pertumbuhan yang diperkirakan IMF dapat diantisipasi sejak awal. Oleh karena itu, integrasi antar sektor dalam strategi pemerintah sangatlah penting guna mencapai target pertumbuhan yang lebih tinggi.
Luky Alfirman menyoroti bahwa penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi oleh IMF tidak hanya menimpa Indonesia, tetapi juga berdampak luas pada negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan China. Penurunan ini disebabkan oleh ketegangan perdagangan internasional yang mengganggu stabilitas pasar global. Menurut Luky, dampak dari pelemahan ini akan dirasakan terlebih dahulu di sektor keuangan melalui melemahnya nilai tukar, perlambatan pasar saham, dan kinerja Surat Berharga Negara.
Pelemahan sektor keuangan akhirnya akan berlanjut ke sektor riil, yang berdampak langsung pada penciptaan lapangan kerja serta indikator pembangunan seperti tingkat kemiskinan. Untuk menghadapi tantangan ini, Luky menekankan perlunya APBN dan APBD sebagai alat penyerap guncangan ekonomi. Belajar dari krisis-krisis masa lalu, termasuk pandemi COVID-19, instrumen fiskal harus dimanfaatkan secara efektif untuk meredam dampak negatif dari fluktuasi ekonomi global. Dengan demikian, Indonesia dapat tetap menjaga stabilitas dan terus menuju pencapaian target pertumbuhan jangka panjang.