Pada masa kejayaannya, Kerajaan Majapahit mengembangkan sistem pemerintahan yang kompleks dan terorganisir dengan baik. Salah satu jabatan penting dalam struktur ini adalah Pasangguhan, yang menjadi perhatian utama dalam dokumen sejarah seperti Kakawin Nagarakretagama. Jabatan ini memiliki posisi strategis sebagai bagian dari pejabat tinggi kerajaan, yang bertanggung jawab langsung kepada raja. Meskipun signifikansi historisnya jelas, misteri di balik fungsi spesifik Pasangguhan masih belum terpecahkan sepenuhnya.
Empat nama besar dikenal sebagai pemegang jabatan Pasangguhan pada era awal Majapahit. Dua di antaranya, yaitu Sang Arya Adikara dan Sang Arya Wiraraja, memiliki peran dramatis dalam sejarah politik kerajaan. Namun, akibat konflik internal dan pergolakan, pengaruh mereka secara bertahap meredup dari catatan resmi kerajaan. Penelitian lanjutan terhadap piagam Kudadu dan Penanggungan menunjukkan bahwa Pasangguhan lainnya tetap aktif dalam administrasi kerajaan, meskipun detail tugas mereka tetap simpang siur.
Jabatan Pasangguhan merupakan salah satu elemen vital dalam sistem birokrasi Majapahit. Berdasarkan catatan sejarah, jabatan ini setara dengan hulubalang dalam tradisi Melayu atau senapati dalam kesusastraan Jawa. Para pejabat ini tidak hanya berperan dalam urusan militer, tetapi juga melibatkan diri dalam diplomasi dan administrasi negara. Struktur hierarki yang ada menjadikan mereka sebagai penasehat dekat raja, bersanding dengan patih dan wilwatikta.
Dalam konteks lebih luas, Pasangguhan mencerminkan pentingnya kolaborasi antara para pemimpin untuk menjaga stabilitas dan kekuasaan kerajaan. Piagam Kudadu tahun 1294 menyebutkan empat Pasangguhan yang memegang peranan strategis dalam pertempuran dan pengambilan keputusan politik. Mereka dipuji karena keberanian serta dedikasi mereka di medan perang. Namun, keterlibatan beberapa individu dalam konflik internal membuat status mereka menjadi kontroversial dalam catatan sejarah. Misalnya, Sang Arya Adikara dan Sang Arya Wiraraja, yang awalnya menonjol sebagai pemimpin kuat, akhirnya terlibat dalam pemberontakan yang mengubah jalannya nasib mereka.
Sebagai bagian integral dari struktur pemerintahan Majapahit, Pasangguhan meninggalkan warisan yang signifikan bagi generasi berikutnya. Kontribusi mereka dapat dilihat dari pencatatan rinci dalam piagam-piagam resmi, seperti Piagam Kudadu dan Piagam Penanggungan. Kehadiran mereka dalam dokumen-dokumen tersebut membuktikan betapa pentingnya jabatan ini bagi kelangsungan kerajaan. Namun, dinamika politik dan pergolakan sosial sering kali mengaburkan jejak mereka dalam sejarah.
Setelah periode awal Majapahit, dua dari empat Pasangguhan asli tidak lagi disebutkan dalam catatan resmi. Sang Arya Adikara, misalnya, tewas dalam pemberontakan Ranggalawe pada tahun 1295, sementara Sang Arya Wiraraja memilih mundur dari pusat kekuasaan dan mendirikan basis otonom di Lumajang. Keputusan ini menunjukkan adanya gesekan internal yang memengaruhi loyalitas para pejabat terhadap kerajaan induk. Di sisi lain, dua Pasangguhan lainnya, yakni Sang Nayapati Pu Lunggah dan Seg Pranaraja, Pu Sina, tetap aktif dalam administrasi kerajaan, meskipun peran mereka kurang terdokumentasi secara mendetail.