Banyak perusahaan yang melaporkan keputusan untuk memecat karyawan dari generasi Z. Survei menunjukkan bahwa sekitar enam dari sepuluh perusahaan telah mengambil tindakan ini terhadap lulusan baru. Alasan utama termasuk kurangnya motivasi, profesionalisme, serta keterampilan komunikasi dan organisasi yang lemah. Selain itu, faktor budaya kerja dan ekspektasi pekerjaan juga menjadi kendala bagi para fresh graduate ini. Pada sisi lain, beberapa Gen Z yang dipecat merasa tidak cocok dengan lingkungan kerja yang ada.
Selain tantangan adaptasi, survei tambahan menemukan bahwa banyak pekerja Gen Z bergantung pada dukungan keluarga selama proses pencarian kerja. Dalam situasi tertentu, bahkan orang tua mereka ikut serta dalam tahapan wawancara atau pengiriman aplikasi pekerjaan. Kisah nyata dari salah satu korban PHK menyoroti ketidaksesuaian antara harapan dan realitas dunia kerja, termasuk masalah gaji dan keseimbangan hidup.
Munculnya fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan Gen Z menunjukkan adanya kesenjangan signifikan antara persiapan akademik dan kesiapan dunia kerja. Beberapa alasan utama yang dikemukakan oleh perusahaan mencakup minimnya dorongan internal, kurangnya sikap profesional, serta kemampuan berkomunikasi yang masih perlu ditingkatkan. Selain itu, banyak dari mereka kesulitan dalam menerima umpan balik dan bekerja secara mandiri.
Penyesuaian ke lingkungan kerja sering kali menjadi tantangan besar bagi fresh graduate. Mereka mungkin belum siap menghadapi dinamika tim yang kompleks atau ekspektasi independensi dalam menyelesaikan tugas. Sebuah laporan menyebutkan bahwa hampir setengah dari perusahaan yang disurvei merasa bahwa karyawan Gen Z kurang memiliki keterampilan organisasi dan teknis yang memadai. Faktor-faktor ini menjadi batu sandungan dalam karier awal mereka. Misalnya, mereka sering kali kesulitan dalam mengatur waktu dan prioritas, serta menyelesaikan masalah dengan efektivitas tinggi. Selain itu, kurangnya pengalaman kerja relevan membuat mereka lebih rentan terhadap tekanan dari atasan dan rekan kerja.
Dari sudut pandang karyawan Gen Z yang telah di-PHK, ketidakcocokan budaya kerja menjadi alasan utama kegagalan mereka di tempat kerja. Banyak dari mereka merasa bahwa atasan dari generasi sebelumnya tidak menghargai pendekatan modern yang mereka bawa ke meja kerja. Selain itu, masalah gaji dan keseimbangan hidup juga menjadi faktor penting yang mempengaruhi motivasi mereka.
Cerita Gebsy, seorang desainer grafis berusia 25 tahun, mencerminkan ketegangan antara ekspektasi dan realitas dunia kerja. Ia merasa diremehkan oleh atasannya karena selera seni yang dianggap "kuno" dan kurang fleksibilitas dalam mendukung kreativitas. Selain itu, nominal gaji yang ditawarkan jauh di bawah standar UMP DKI Jakarta, sehingga ia merasa dirugikan secara finansial. Situasi ini semakin rumit dengan permintaan pekerjaan tambahan di luar jam kerja tanpa kompensasi yang memadai. Menurut Gebsy, pengalaman tersebut tidak hanya memengaruhi produktivitasnya tetapi juga mengurangi semangat kerja secara keseluruhan. Perbedaan gaya kepemimpinan antara Baby Boomers dan Milenial dengan Gen Z tampaknya menjadi penyebab utama konflik ini.