Di era digital yang semakin maju, fenomena yang dikenal sebagai "Brain Rot" kini menjadi perhatian utama di kalangan Generasi Z. Istilah ini mengacu pada kemunduran kapasitas mental yang disebabkan oleh penggunaan berlebihan media sosial dan konten digital lainnya. Meskipun bukan kondisi medis resmi, Brain Rot mencerminkan kekhawatiran terhadap efek negatif dari kecanduan teknologi modern. Media sosial seperti TikTok, Instagram, dan YouTube telah memanfaatkan algoritma untuk menarik perhatian pengguna dengan cara yang sering kali membuat mereka terjebak dalam pola konsumsi yang tidak sehat.
Pakar penelitian dari Toronto Metropolitan University, Masoud Kianpour, menjelaskan bahwa adiksi digital dapat muncul dari berbagai aktivitas daring, mulai dari berbelanja online hingga konsumsi konten dewasa. Fenomena ini semakin parah selama pandemi, ketika banyak orang dipaksa untuk menghabiskan waktu lebih lama di depan layar akibat kebijakan pembatasan sosial. Menurut data dari Amerika Serikat, anak muda rata-rata menghabiskan lebih dari lima jam setiap hari di depan layar, menerima notifikasi hampir setiap empat menit.
Di Indonesia, survei We Are Social tahun 2024 menunjukkan bahwa masyarakat menghabiskan lebih dari tujuh jam sehari untuk menggunakan internet, dengan mayoritas melakukannya sebagai bentuk hiburan. Format video pendek yang cepat dan menghibur menjadi salah satu penyebab utama fenomena ini. Gen Z, yang merupakan kelompok paling aktif dalam hal akses internet, rentan terhadap perilaku doom scrolling—menggulir konten tanpa henti hingga menjadi rutinitas yang sulit dihentikan.
Para ahli bahasa di Oxford University Press mencatat bahwa istilah "brain rot" meningkat popularitasnya sebesar 230% antara tahun 2023 dan 2024. Kata ini bahkan terpilih sebagai Oxford Word of the Year, mencerminkan kekhawatiran masyarakat akan dampak buruk konsumsi berlebihan konten digital. Presiden Oxford Languages, Casper Grathwohl, menyampaikan bahwa generasi muda, meskipun aktif menciptakan dan mengonsumsi konten digital, mulai menyadari potensi bahayanya secara humoristik.
Kementerian Kesehatan juga ikut menyoroti masalah ini, menanyakan apakah kebiasaan terlalu lama menggunakan media sosial benar-benar dapat merusak otak hingga tingkat "pembusukan". Diskusi ini menciptakan kesadaran baru tentang pentingnya menyeimbangkan aktivitas digital dengan kehidupan nyata, terutama bagi generasi muda yang sangat bergantung pada teknologi.
Istilah Brain Rot menggambarkan bagaimana gaya hidup modern dapat membawa tantangan serius bagi kesehatan mental dan intelektual individu. Dengan semakin populernya platform digital dan algoritma yang dirancang untuk mempertahankan perhatian pengguna, penting bagi semua pihak untuk memahami risiko yang terlibat dan mencari solusi untuk menjaga keseimbangan hidup di dunia digital ini.