Ketupat, salah satu makanan tradisional yang erat kaitannya dengan perayaan Lebaran di Indonesia, memiliki sejarah panjang yang mencerminkan akulturasi budaya dan agama. Makanan ini tidak hanya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, tetapi juga berperan penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Berasal dari era Kesultanan Demak pada abad ke-15, ketupat telah berkembang sebagai lambang syukur kepada Tuhan serta simbol pengampunan dalam konteks spiritualitas. Dengan bahan dasar janur, pembungkus ketupat dipercaya merepresentasikan nilai-nilai hati nurani dalam bahasa Jawa.
Pada zaman dahulu, sebelum digunakan sebagai medium penyebaran ajaran Islam, ketupat terkait erat dengan tradisi pemujaan Dewi Sri, dewi kesuburan dalam kepercayaan Hindu-Buddha. Namun, Sunan Kalijaga, salah satu tokoh Walisongo, memanfaatkan ketupat sebagai alat untuk menyampaikan pesan-pesan agama Islam kepada masyarakat Jawa. Melalui inovasi ini, makna ketupat berubah menjadi ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Proses transformasi ini terjadi pada masa Kesultanan Demak, yang dikenal sebagai pusat penyebaran Islam di Pulau Jawa. Ketupat kemudian diintegrasikan dalam perayaan Idulfitri, dimana upacara khusus dilakukan setiap tanggal 8 Syawal sebagai bentuk pengucapan syukur. Filosofi mendalam terkandung dalam nama "ketupat" itu sendiri, yang berasal dari kata "ngaku lepat" dalam bahasa Jawa, yang berarti mengakui kesalahan atau meminta maaf.
Dari sini, tradisi ketupat melanjutkan jejaknya di berbagai wilayah Indonesia, menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah dan budaya bangsa. Dengan demikian, ketupat bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga merupakan simbol persatuan antara nilai-nilai luhur dan keyakinan spiritual.
Sebagai seorang jurnalis, cerita tentang ketupat memberikan inspirasi bahwa setiap hal kecil dalam kehidupan kita dapat memiliki arti yang lebih besar jika dilihat dari sudut pandang historis dan filosofis. Ketupat mengajarkan kita tentang pentingnya adaptasi, penghormatan terhadap warisan budaya, dan penghargaan terhadap nilai-nilai universal seperti pengampunan dan rasa syukur. Dalam konteks modern, ini adalah pelajaran yang relevan bagi generasi saat ini untuk mempertahankan identitas budaya tanpa mengesampingkan dinamika perkembangan zaman.