Hari raya Idulfitri, atau yang lebih dikenal sebagai Lebaran di Indonesia, merupakan momen penting bagi umat Muslim untuk merayakan kebahagiaan spiritual setelah menjalani ibadah puasa selama sebulan penuh. Lebaran tidak hanya menjadi hari pembuka lapang dada tetapi juga momentum penyempurnaan hubungan vertikal dengan Tuhan (hablun minallah) dan horizontal dengan sesama manusia (hablun minnannas). Melalui berbagai adab-adab dalam perayaan ini, seperti membersihkan diri, mengenakan pakaian terbaik, dan memakan beberapa biji kurma sebelum salat Ied, umat Islam diajak untuk kembali kepada fitrah dan memperbaiki hubungan sosial.
Di pagi hari yang cerah, tepat setelah bulan Ramadan berakhir, umat Muslim di seluruh dunia merayakan Idulfitri sebagai bentuk rasa syukur atas kelancaran ibadah puasa mereka. Menurut Muhammad Saiyid Mahadhir, Lc MAg, istilah "Idulfitri" berasal dari gabungan dua kata Arab: id (kembali) dan fithr (berbuka), yang secara harfiah berarti "kembali berbuka". Selain itu, ada interpretasi lain yang menyebut bahwa kata fithr dapat diartikan sebagai fitrah atau keadaan murni, sehingga Idulfitri juga melambangkan pemurnian jiwa.
Berbagai adab dianjurkan dalam merayakan hari raya ini. Salah satu tradisi adalah mandi wajib di pagi hari sebelum menuju tempat salat Ied. Ini dilakukan sebagai simbol kebersihan fisik dan spiritual. Selain itu, umat Islam disarankan untuk mengenakan pakaian terbaik mereka sebagai bentuk penghormatan kepada Tuhan dan hari raya tersebut. Sebelum meninggalkan rumah, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam juga mencontohkan kebiasaan memakan beberapa biji kurma ganjil sebagai tanda permulaan hari yang baik.
Takbir yang dilantunkan mulai dari rumah hingga tempat salat menjadi bagian integral dari perayaan ini. Tak hanya itu, Rasulullah juga memberi contoh praktis dengan berjalan kaki ke tempat salat serta menggunakan jalan yang berbeda saat pulang, simbolisasi pentingnya keragaman dan kesegaran dalam kehidupan.
Dalam konteks sosial, Idulfitri menjadi waktu emas untuk memperbaiki hubungan dengan sesama. Meminta maaf dan memberi maaf menjadi aktivitas utama, menciptakan harmoni dan perdamaian dalam masyarakat.
Dari sisi historis, ketika Nabi Muhammad pertama kali tiba di Madinah, beliau menemukan dua hari raya lokal yang kemudian diganti dengan Idulfitri dan Iduladha sebagai bentuk perayaan yang lebih bermakna secara agama.
Idulfitri bukan sekadar hari libur atau acara formalitas religius; ia adalah panggilan untuk introspeksi diri dan perbaikan hubungan interpersonal. Setiap langkah dalam ritual perayaan, mulai dari mandi hingga takbir, mengandung makna mendalam tentang pentingnya kebersihan, kerendahan hati, dan persaudaraan. Bagi saya sebagai seorang jurnalis, Idulfitri mengajarkan bahwa kehidupan harus selalu dimulai kembali dengan sikap bersyukur dan semangat baru. Ini adalah pelajaran hidup yang relevan di era modern, di mana kompleksitas sering membuat kita lupa akan esensi sederhana dari kebahagiaan dan kedamaian.