Penurunan IHSG mencerminkan ketidakpastian ekonomi yang terus berkembang. Situasi ini menjadi perhatian utama bagi investor lokal maupun asing.
Saat sesi II perdagangan berlangsung, IHSG mencatat koreksi hingga 5%, meskipun lebih baik dibandingkan dengan sesi sebelumnya yang turun hingga 6,12%. Data resmi dari Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan bahwa pada awal sesi II, total 650 saham mengalami penurunan harga, sementara hanya 65 saham yang menguat. Kinerja ini menunjukkan dominasi aksi jual di pasar modal.
Nilai transaksi selama periode tersebut mencapai Rp 11,45 triliun, melibatkan lebih dari 17,82 miliar saham dalam hampir satu juta transaksi. Angka ini menunjukkan bahwa likuiditas pasar tetap tinggi, meskipun arah pergerakannya cenderung bearish. Para analis menyatakan bahwa volatilitas ini merupakan respons alami terhadap ketegangan ekonomi global dan sentimen negatif dari pelaku pasar.
Dari sisi eksternal, aktivitas jual besar-besaran oleh investor asing menjadi salah satu pemicu penurunan IHSG. Sejak awal tahun ini, catatan BEI mencatat net foreign sell sebesar Rp 24 triliun. Aksi ini tidak hanya terjadi pada tahun ini, namun juga berlanjut dari tahun lalu, di mana total net sell mencapai Rp 57,8 triliun dalam enam bulan terakhir.
Rumor-rumor politik dan kebijakan fiskal juga memperburuk situasi. Misalnya, rumor pengunduran diri Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan membuat pasar khawatir atas stabilitas kebijakan ekonomi nasional. Hal ini diperparah oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi domestik, yang tercermin dari penurunan penerimaan pajak. Perlambatan ini menunjukkan lemahnya aktivitas bisnis di kalangan pelaku usaha.
Analis Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, menjelaskan bahwa pelemahan daya beli konsumen menjadi salah satu penyebab utama penurunan IHSG. Data statistik menunjukkan bahwa deflasi secara tahunan pada Februari 2025 merupakan yang terburuk dalam dua dekade terakhir. Deflasi ini menunjukkan adanya penurunan permintaan domestik yang signifikan, terutama dari segmen menengah ke bawah.
Ketika daya beli melemah, dampaknya langsung dirasakan oleh sektor-sektor yang bergantung pada konsumsi rumah tangga. Industri ritel, properti, hingga otomotif semuanya mengalami tekanan. Oleh karena itu, pelemahan ini bukan hanya isu jangka pendek, tetapi juga menjadi tantangan struktural bagi pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ketidakpastian regulasi menjadi faktor lain yang memengaruhi performa pasar modal. Beberapa kebijakan yang dianggap kurang pro-korporat telah membuat investor ragu untuk melakukan investasi baru di Indonesia. Contohnya adalah rencana revisi pajak tertentu yang dinilai dapat memberatkan sektor swasta.
Mitra Andalan Sekuritas menyoroti pentingnya sinergi antara pemerintah dan pelaku pasar dalam menciptakan iklim investasi yang stabil. Tanpa kepastian regulasi, sulit bagi pasar modal untuk pulih sepenuhnya. Oleh karena itu, langkah-langkah konkret seperti reformasi pajak yang inklusif dan transparansi kebijakan sangat diperlukan untuk membangkitkan kepercayaan investor.