Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) membuka perdagangan Selasa dengan penurunan signifikan, mencerminkan ketegangan pasar domestik dan global. Pada sesi awal, nilai transaksi melibatkan triliunan rupiah namun sebagian besar saham mengalami pelemahan, terutama emiten teknologi dan perbankan. Penyebab utama penurunan ini adalah kinerja buruk dari beberapa saham raksasa yang menjadi pilar IHSG. Di sisi lain, survei para ahli ekonomi menunjukkan pandangan pesimis terhadap kondisi ekonomi Indonesia, dengan mayoritas responden memprediksi pertumbuhan yang lebih rendah ke depan.
Pasar modal Indonesia menghadapi tantangan berat pada perdagangan awal hari Selasa. IHSG dibuka di zona merah dengan penurunan mendekati 2,2%. Sektor teknologi dan perbankan menjadi kontributor utama pelemahan ini, didorong oleh performa negatif saham-saham konglomerat ternama. Meskipun ada sedikit kenaikan di sektor transportasi, dampaknya tidak cukup untuk mendorong rebound secara keseluruhan.
Tekanan pasar juga berasal dari dinamika saham DCI Indonesia (DCII), yang setelah reli panjang akhirnya menyentuh batas auto rejection bawah (ARB) atau anjlok hampir 20%. Kondisi ini memberi pengaruh besar terhadap penurunan indeks karena kontribusi DCII sebagai salah satu laggard utama. Selain itu, saham-saham milik taipan seperti BREN dan TPIA juga turut melemah, serta sektor perbankan seperti BBCA, BBRI, BMRI, dan BBNI yang mengalami koreksi signifikan pasca-rapat umum pemegang saham (RUPS). Semua faktor ini menciptakan sentimen negatif di pasar lokal.
Dalam survei yang dilakukan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI, mayoritas ahli ekonomi sepakat bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat ini telah memburuk dibandingkan tiga bulan sebelumnya. Survei ini menyoroti ketidakpastian ekonomi yang semakin meningkat, dengan prediksi pertumbuhan yang cenderung stagnan atau bahkan menurun dalam periode mendatang.
Hasil survei menunjukkan bahwa sebanyak 55% responden menganggap situasi ekonomi nasional jauh lebih buruk daripada sebelumnya, sementara hanya satu ahli yang optimistis tentang kondisi ke depan. Prediksi ini didasarkan pada tren makroekonomi yang kurang menggembirakan, termasuk perlambatan aktivitas bisnis dan investasi. Lebih dari seperempat responden memperkirakan tidak adanya perubahan signifikan, tetapi masih ada harapan dari minoritas yang memproyeksikan potensi pertumbuhan di masa mendatang. Dengan demikian, tantangan ekonomi Indonesia membutuhkan langkah-langkah konkret untuk memulihkan keyakinan investor dan publik.