Pada hari Jumat (14/3/2025), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka dengan penurunan signifikan sebesar 1,22% atau 81 poin, mencapai level 6.566,2. Transaksi perdagangan sesi I mencatatkan nilai Rp 528,2 miliar melalui lebih dari 728 juta saham yang diperdagangkan. Hampir semua sektor mengalami pelemahan, kecuali sektor energi yang menunjukkan kenaikan tipis sebesar 0,18%. Sektor teknologi menjadi yang paling terpukul dengan penurunan mencapai 7,34%. Selain itu, saham DCI Indonesia (DCII) juga anjlok hingga 20%, setelah reli sebelumnya mencapai lebih dari 300% pada tahun berjalan.
Pada pagi hari di Jakarta, IHSG membuka perdagangan dengan tren bearish akibat pengumuman defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pemerintah melaporkan bahwa realisasi APBN hingga akhir Februari 2025 mencatatkan defisit sebesar Rp31,2 triliun atau 0,13% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Ini merupakan pertama kalinya dalam empat tahun terakhir Indonesia mencatatkan defisit pada periode tersebut. Pendapatan negara hingga akhir Februari hanya mencapai Rp316,9 triliun, dengan komponen utama berasal dari pajak dan bea cukai.
Belanja negara selama dua bulan pertama mencapai Rp348,1 triliun, mencakup belanja pusat dan transfer daerah. Situasi ini menunjukkan tingkat ketergantungan Indonesia pada harga komoditas global, terutama setelah lonjakan harga komoditas sejak 2022 akibat konflik Rusia-Ukraina. Sebagai dampaknya, pasar saham domestik mengalami tekanan kuat, dengan sektor teknologi sebagai salah satu korban terparah.
Saham DCI Indonesia (DCII) juga turun drastis hingga 20%, setelah reli sebelumnya yang mencapai lebih dari 300%. Lonjakan harga awalnya dipicu oleh rencana stock split yang diumumkan pada 18 Februari 2025 oleh Toto Sugiri. Di sisi lain, saham perbankan seperti BBCA juga menjadi faktor pemberat dengan penurunan 0,84%, memberikan dampak negatif sebesar 6,51 indeks poin terhadap IHSG.
Dari perspektif seorang jurnalis, situasi ini menunjukkan pentingnya diversifikasi ekonomi bagi Indonesia. Ketergantungan pada harga komoditas global dapat menyebabkan volatilitas pasar saham domestik, seperti yang terlihat pada kasus IHSG kali ini. Pemerintah perlu mempertimbangkan langkah-langkah strategis untuk mengurangi risiko eksternal semacam ini, baik melalui pengembangan industri hilir maupun peningkatan efisiensi fiskal. Bagi investor, kondisi ini juga menjadi pelajaran tentang perlunya manajemen risiko yang cermat dalam portofolio investasi.