Konflik antara Hamas dan Israel terus berkembang, dengan usulan gencatan senjata menjadi pusat perhatian. Pada Maret 2025, pejabat dari kelompok perlawanan Palestina Hamas menyatakan bahwa mereka tidak akan merespons atau terlibat langsung dalam usulan balasan yang diajukan oleh Israel untuk gencatan senjata di Gaza. Sebagai gantinya, Hamas memilih untuk berpegang teguh pada rencana mediator, termasuk Mesir dan Qatar, yang telah mencapai kesepakatan awal pada Januari lalu. Kesepakatan ini sempat dilanggar oleh Israel lebih dari 900 kali sebelum akhirnya dibatalkan melalui serangan bom ke Gaza. Usulan baru ini bertujuan untuk memperpanjang gencatan senjata selama 50 hari, dengan negosiasi fase kedua harus diselesaikan sebelum periode tersebut habis.
Dalam upaya menuju perdamaian, langkah-langkah penting telah diambil. Di tengah konflik yang terjadi di Koridor Netzarim, militer Israel kembali mengambil alih kendali wilayah strategis ini pada 19 Maret. Namun, usulan gencatan senjata yang disampaikan melalui mediator membuka peluang baru bagi kedua belah pihak. Salah satu elemen utama dari usulan ini adalah pembebasan tawanan, termasuk Edan Alexander, seorang tentara Israel asal New Jersey, yang akan dilepas pada hari pertama setelah pengumuman gencatan senjata. Hamas juga menyetujui pembebasan empat tahanan lainnya secara bertahap setiap sepuluh hari sebagai imbalan atas pembebasan 250 warga Palestina yang ditahan di penjara Israel, serta 2.000 orang lainnya yang ditahan setelah Oktober 2023.
Selain itu, usulan ini mencakup penghentian operasi militer Israel, pembukaan jalur penyeberangan untuk memungkinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza, dan pembukaan kembali Koridor Netzarim untuk memfasilitasi mobilitas di seluruh Jalur Gaza. Tragedi yang terjadi di Gaza, dengan lebih dari 50.400 korban jiwa akibat serangan militer Israel, telah menarik perhatian internasional dan bahkan mengarah pada dakwaan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ).
Di sisi lain, Brigade Al-Qassam, lengan militer Hamas, tetap waspada dalam menjaga keamanan saat menyerahkan dua sandera Israel kepada Komite Palang Merah Internasional (ICRC) di Rafah, Gaza Selatan, pada 22 Februari 2025.
Perundingan damai ini terjadi di tengah kerugian besar yang dialami oleh rakyat Gaza, yang kini hidup di reruntuhan akibat serangan militer Israel.
Berita ini memberikan harapan bagi jutaan warga Gaza yang telah menderita akibat konflik berkepanjangan.
Menurut perspektif seorang jurnalis, langkah-langkah menuju gencatan senjata ini menunjukkan bahwa diplomasi tetap merupakan cara terbaik untuk mengakhiri siklus kekerasan di wilayah ini. Walaupun tantangan masih ada, komitmen untuk melepaskan tawanan dan membangun saluran komunikasi melalui mediator internasional dapat menjadi fondasi kuat untuk masa depan yang lebih damai di Timur Tengah. Dengan dukungan global, harapan untuk perdamaian nyata di Gaza semakin mendekat.