Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa dewi langit Mesir kuno, Nut, mungkin memiliki peran yang lebih dalam dalam astronomi kuno daripada yang sebelumnya dipahami. Dr Or Graur, seorang astrofisikawan, telah melakukan analisis mendalam terhadap ratusan gambar dewa langit ini, menunjukkan kemiripan luar biasa antara penggambaran tubuh Nut dan galaksi Bima Sakti. Peneliti tersebut menemukan bahwa pita kegelapan yang melintang di tubuh Nut sangat mirip dengan Great Rift, yaitu jalur debu gelap yang membelah cahaya terang galaksi kita. Dengan fokus pada 555 peti mati Mesir kuno, Graur menyoroti variasi dalam orientasi tubuh Nut, yang mencerminkan pola musiman dari Bima Sakti di langit.
Berkat studi terperinci yang dilakukan oleh Dr Or Graur, pemahaman tentang budaya astronomi Mesir kuno semakin berkembang. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa gambar dewi langit Nut sering kali menggambarkan pita hitam bergelombang yang membelah tubuhnya. Pita ini diyakini merepresentasikan Great Rift dari Bima Sakti. Selain itu, posisi tubuh Nut dalam berbagai orientasi mencerminkan cara galaksi tersebut tampak di langit di berbagai musim. Misalnya, pada peti mati seorang pendeta wanita bernama Nesitaudjatakhet, Nut digambarkan dengan lekukan hitam yang melengkung, sesuai dengan bentuk alami galaksi kita.
Graur juga menyoroti bahwa interpretasi ini didukung oleh gambar-gambar lain di makam para firaun seperti Seti I, Ramses IV, VI, dan IX. Gambar-gambar tersebut menunjukkan kurva bergelombang yang membagi langit-langit astronomi makam-makam tersebut. Menurut Graur, hal ini menunjukkan bahwa konsep Bima Sakti telah menjadi bagian integral dari simbolisme Mesir kuno. Namun, dia menekankan bahwa Nut tidak hanya dimaksudkan sebagai personifikasi galaksi, tetapi juga sebagai kanvas kosmik tempat fenomena langit lainnya—seperti Matahari, Bulan, dan bintang-bintang—dapat muncul dalam berbagai arah.
Dalam konteks ini, Graur juga menduga bahwa nama Mesir kuno untuk Bima Sakti mungkin adalah "Winding Waterway," sebuah istilah yang mencerminkan persepsi mereka tentang galaksi sebagai sungai angkasa yang melengkung. Hal ini paralel dengan konseptualisasi beberapa budaya asli Amerika yang juga menyebut galaksi sebagai jalur air atau jalan rohani.
Temuan ini memberikan wawasan baru tentang bagaimana peradaban kuno memandang langit malam. Melalui interpretasi ulang simbolisme dewi langit Mesir kuno, kita dapat lebih memahami hubungan mereka dengan alam semesta. Studi ini tidak hanya menambah pengetahuan kita tentang astronomi kuno, tetapi juga menunjukkan betapa eratnya hubungan antara mitologi dan ilmu pengetahuan dalam sejarah manusia.