Pada beberapa hari terakhir, rupiah telah menunjukkan tren penguatan yang signifikan. Menurut analisis ekonom, peluang ini diperkirakan berlanjut seiring pelemahan dolar AS secara global. Meskipun demikian, faktor-faktor domestik dan ketidakpastian eksternal dapat membatasi laju apresiasi mata uang Indonesia. Para ahli juga mengindikasikan bahwa ekspektasi kebijakan moneter yang lebih longgar dari Bank Sentral AS dapat mempercepat pelemahan dolar AS.
Mata uang Indonesia diperkirakan akan melanjutkan tren penguatannya dalam beberapa hari mendatang. Data menunjukkan bahwa rupiah telah membukukan kenaikan hingga 0,37% pada hari ini, mencapai level Rp16.250 per dolar AS. Ekonom Bank Danamon Hosiana Situmorang menjelaskan bahwa dengan pelemahan dolar AS secara global, rupiah memiliki peluang untuk terus menguat dan menembus level 16.270.
Sementara itu, indeks dolar AS (DXY) turun dari posisi 107,55 pada 28 Februari 2025 menjadi 104,16 pada pukul 08:52 WIB hari ini. Pelemahan dolar AS ini dipengaruhi oleh ekspektasi pasar terhadap kebijakan moneter yang lebih longgar dari Federal Reserve. Jika data ketenagakerjaan AS mengecewakan, maka pasar percaya bahwa Fed akan memangkas suku bunga acuan lebih cepat. Ini semakin mempercepat pelemahan dolar AS terhadap mata uang lainnya, termasuk rupiah.
Meski prospek penguatan rupiah tampak cerah, beberapa faktor domestik dapat membatasi laju apresiasinya. Permintaan dolar AS untuk impor dan pembayaran utang luar negeri masih menjadi tantangan. Selain itu, sentimen pasar terhadap aset berisiko juga perlu diperhatikan, mengingat ketidakpastian eksternal yang masih tinggi. Ekonom BCA Barra Kukuh Mamia memproyeksikan bahwa rupiah secara rata-rata di semester I-2025 akan berada pada level Rp16.400 per dolar AS.
Dalam jangka pendek, rupiah berpotensi overshoot ke sekitar Rp16.100 per dolar AS. Namun, Barra tetap mempertahankan proyeksi fundamental rupiah di Rp16.400 untuk paruh pertama tahun 2025. Faktor-faktor domestik seperti permintaan dolar AS untuk impor dan pembayaran utang luar negeri, serta sentimen pasar terhadap aset berisiko, tetap menjadi variabel penting yang perlu dipertimbangkan dalam dinamika penguatan rupiah.