Dalam perkembangan terbaru, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan seorang tokoh bernama M Adhiya Muzakki (MAM), Ketua Cyber Army, sebagai tersangka atas tuduhan penghalangan proses hukum di beberapa kasus korupsi besar. Investigasi ini melibatkan bukti yang cukup kuat dan keterkaitan dengan tiga individu lainnya yang sudah ditetapkan sebagai tersangka sebelumnya. Selain itu, keberadaan kelompok buzzer yang dikelola oleh MAM menjadi sorotan utama.
Kasus ini berkaitan dengan upaya sistematis untuk menggagalkan penyelidikan terhadap kasus-kasus seperti korupsi PT Timah, impor gula ilegal, serta suap dalam penanganan ekspor crude palm oil (CPO). Dengan menggunakan strategi komentar negatif secara masif di media sosial, kelompok ini mencoba mempengaruhi opini publik dan mengganggu jalannya hukum.
Berdasarkan hasil penyelidikan mendalam, pihak Kejagung resmi menetapkan MAM sebagai tersangka dalam rangkaian kasus penghalangan proses hukum. Bukti-bukti yang dikumpulkan selama penyelidikan menunjukkan adanya keterlibatan aktif MAM dalam upaya mengganggu jalannya penegakan hukum pada berbagai kasus korupsi yang sedang ditangani Jampidsus.
Secara lebih rinci, investigasi mengungkap bahwa MAM bekerja sama dengan tiga orang lainnya—Tian Bahtiar (TB), Marcella Santoso (MS), dan Junaidi Saibih (JS)—untuk menghindari kemajuan dalam penyelesaian kasus korupsi tertentu. Melalui koordinasi internal, mereka dirancang untuk memberikan perlawanan terhadap langkah-langkah penyidikan maupun penuntutan yang dilakukan oleh tim Kejagung. Keterlibatan MAM semakin jelas ketika ia disebutkan telah menerima permintaan langsung dari salah satu tersangka lainnya untuk membentuk kelompok buzzer yang bertujuan merusak reputasi institusi hukum.
Terkait dengan operasional kelompok buzzer, Kejagung juga mengungkap detail tentang struktur organisasi yang dipimpin oleh MAM. Dengan anggota sekitar 150 orang, kelompok ini dibagi menjadi lima tim independen yang diberi nama Mustofa I hingga Mustofa V. Setiap tim memiliki tugas spesifik untuk menyebarkan narasi negatif terhadap penanganan kasus korupsi oleh Kejagung.
Strategi yang digunakan oleh kelompok ini meliputi penyebaran informasi tidak akurat, komentar provokatif, dan kampanye serangan sistemik di platform digital. Tujuan utamanya adalah menciptakan persepsi publik yang salah terhadap langkah-langkah yang diambil oleh institusi hukum, sehingga dapat menghambat proses penyidikan dan penuntutan. Aktivitas ini diduga melanggar undang-undang terkait pemberantasan korupsi dan dianggap sebagai ancaman serius terhadap integritas sistem hukum nasional.