Perdana Menteri Yaman, Ahmed bin Mubarak, secara resmi mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan pada hari Sabtu. Alasan utamanya adalah adanya hambatan berulang yang membuatnya tidak dapat menjalankan kewenangan konstitusionalnya secara efektif. Ia menyoroti tantangan besar dalam reformasi lembaga negara serta upaya melawan korupsi. Meskipun demikian, ia mencatat kemajuan signifikan dalam waktu singkat, terutama di sektor keuangan dan administrasi. Pengunduran dirinya terjadi di tengah krisis ekonomi parah di Yaman, dengan rial Yaman jatuh ke titik terendahnya, memperdalam penderitaan warga negara.
Ahmed bin Mubarak menghadapi berbagai kendala selama masa jabatannya sebagai Perdana Menteri Yaman. Dia menyatakan bahwa dirinya sering kali dihalangi dalam menjalankan tugas-tugas penting untuk merombak sistem pemerintahan dan mengambil keputusan strategis. Kendati demikian, ia berhasil mencapai beberapa pencapaian signifikan, termasuk reformasi keuangan dan administratif serta langkah-langkah antisipasi korupsi.
Tantangan utama yang dihadapi oleh Mubarak adalah ketidakmampuannya untuk merealisasikan perubahan mendalam pada struktur pemerintahan. Dalam pengungkapan resminya di platform X, ia menjelaskan bahwa usaha untuk melakukan restrukturisasi kabinet telah terhambat karena faktor-faktor politik internal. Selain itu, ia juga mengkritik penolakan terhadap otoritas konstitusionalnya untuk mengambil keputusan yang diperlukan bagi perkembangan negara. Namun, ia menekankan komitmennya terhadap pemulihan negara Yaman dan melawan kudeta Houthi, meskipun harus mundur dari posisi tersebut.
Pengunduran diri Ahmed bin Mubarak datang di tengah situasi krisis yang semakin memburuk di Yaman. Krisis ini ditandai dengan pelemahan nilai mata uang nasional, rial Yaman, yang mencapai level terendahnya sepanjang sejarah. Kondisi ini disebabkan oleh gangguan ekspor minyak akibat konflik dengan kelompok Houthi sejak Oktober 2022. Situasi ini memperparah kesulitan finansial pemerintah dan memperdalam derita masyarakat.
Konflik berkepanjangan yang dimulai pada tahun 2014 antara kelompok Houthi yang didukung Iran dan pemerintah Yaman yang diakui secara internasional telah menyebabkan bencana kemanusiaan besar. Krisis ini dipertegas oleh ketegangan terkait distribusi pendapatan dari sektor minyak, yang menjadi sumber utama pendanaan negara. Kelompok Houthi menuntut adanya kesepakatan tentang bagaimana hasil minyak digunakan untuk membayar gaji pegawai negeri di seluruh wilayah. Dengan mundurnya Mubarak, ada kekhawatiran bahwa stabilitas politik dan ekonomi akan semakin terganggu, meningkatkan penderitaan warga negara yang sudah lama hidup dalam kondisi sulit.