Harga minyak dunia mengalami penurunan pada akhir perdagangan Senin atau Selasa (29/04/2025) di Jakarta, seiring dengan meningkatnya kekhawatiran terhadap pelemahan permintaan global serta ketidakpastian geopolitik. Kondisi ini dipicu oleh ketegangan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, yang memberikan dampak signifikan terhadap prospek permintaan energi. Minyak Brent untuk kontrak Juni 2025 turun hingga level US$65,74 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) berada di angka US$61,97 per barel. Situasi semakin rumit dengan strategi baru AS dalam menjaga harga minyak serta tantangan fiskal yang dihadapi Arab Saudi.
Ketegangan perdagangan antara dua negara besar dunia tersebut menjadi salah satu faktor utama tekanan harga minyak. Kabar tentang pembicaraan dagang antara AS dan China masih belum jelas, karena meskipun ada indikasi pengurangan tarif dari pihak Washington, Beijing membantah adanya negosiasi khusus. Dengan status sebagai konsumen minyak terbesar dunia, ketidakpastian ini secara langsung mempengaruhi pasar energi global.
Di sisi lain, Amerika Serikat mulai menerapkan pendekatan baru dalam strategi energinya. Berdasarkan analisis dari OilPrice.com, Presiden Donald Trump menekankan pentingnya menjaga harga minyak dalam rentang US$40-80 per barel. Hal ini bertujuan untuk melindungi industri shale oil domestik sekaligus mempertahankan pertumbuhan ekonomi nasional. Tekanan politik terhadap OPEC+, termasuk Arab Saudi, semakin meningkat dengan ancaman legislasi seperti RUU NOPEC, yang dapat memperluas ruang gugatan terhadap negara-negara kartel minyak.
Situasi ini juga menciptakan beban besar bagi Arab Saudi, yang membutuhkan harga minyak minimal US$90,9 per barel untuk menyeimbangkan anggaran negara. Dengan harga saat ini jauh di bawah ambang batas tersebut, kerajaan itu harus mengambil langkah-langkah sulit seperti memangkas proyek-proyek besar, termasuk NEOM City, yang awalnya direncanakan sebagai pusat inovasi teknologi masa depan.
Pasar kini tengah menantikan data ekonomi terbaru dari berbagai negara untuk mendapatkan gambaran lebih jelas tentang arah permintaan minyak di masa mendatang. Di Amerika Serikat, laporan ketenagakerjaan, data inflasi PCE, serta pertumbuhan PDB kuartal I akan menjadi indikator penting. Sementara itu, di Asia, publikasi PMI manufaktur China akan memberikan wawasan tentang performa sektor industri regional.
Berbagai kemungkinan bisa terjadi dalam minggu ini. Jika data menunjukkan perlambatan ekonomi yang lebih tajam, harga minyak cenderung melemah lebih lanjut. Namun, jika ada sinyal positif dari sisi permintaan, peluang pemulihan harga tetap terbuka, terutama menjelang musim panas yang biasanya meningkatkan konsumsi energi global.
Data ekonomi yang akan dirilis minggu ini diharapkan dapat memberikan kejelasan lebih lanjut terkait tren permintaan minyak. Secara umum, situasi pasar energi masih sangat bergantung pada perkembangan hubungan dagang AS-China serta langkah-langkah strategis yang diambil oleh para pemain utama di industri minyak dunia. Keputusan ini akan menentukan apakah harga minyak akan stabil atau mengalami volatilitas lebih lanjut dalam waktu dekat.